Rabu, 29 Februari 2012

Upaya Pengelolaan Tanah Marginal Di Kalimantan

I.                   Pendahuluan
Sumber daya lahan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu sistem usaha pertanian, karena hampir semua usaha pertanian berbasis pada sumber daya lahan. Lahan adalah suatu wilayah daratan dengan ciri mencakup semua watak yang melekat pada atmosfer, tanah, geologi, timbulan, hidrologi dan populasi tumbuhan dan hewan, baik yang bersifat mantap maupun yang bersifat mendaur, serta kegiatan manusia di atasnya. Jadi, lahan mempunyai ciri alami dan budaya (Notohadiprawiro, 1996 dalam Widya, 2009).
Lahan marginal (Suprapto, dkk. 1999 dalam Karda, 2005) merupakan lahan yang miskin unsur hara, ketersediaan air dan curah hujan terbatas, solum tanahnya tipis dan tofografinya berbukit-bukit sehingga produktifitasnya rendah. Scherr dan Hazell (1994) memberi pengertian lahan marginal sebagai lands unsuitable for continuous tillage or lands where there were major constraints to economic use of industrial inputs. Marginal lands menurut Ojating cit. Olanrewaju dan Ezekiel (2005) dalam Widya (2009) are those lands which have lost their ability to support therequired biodiversity either through natural catastrophes and or human destructive activities.
 Menurut Strijker (2005), marginal lands are characterised by land uses that are at the margin of economic viability. Lahan marginal dapat diartikan sebagai lahan yang memiliki mutu rendah karena memiliki beberapa faktor pembatas jika digunakan untuk suatu keperluan tertentu. Sebenarnya faktor pembatas tersebut dapat diatasi dengan masukan, atau biaya yang harus dibelanjakan. Tanpa masukan yang berarti budidaya pertanian di lahan marginal tidak akan memberikan keuntungan.
Ketertinggalan pembangunan pertanian di Indonesia lahan marginal dijumpai baik pada lahan basah maupun lahan kering. Lahan basah berupa lahan gambut, lahan sulfat masam dan rawa pasang surut seluas 24 juta ha, sementara lahan kering kering berupa tanah Ultisol 47,5 juta ha dan Oxisol 18 juta ha (Suprapto, 2003 dalam Widya 2009). Indonesia memiliki panjang garis pantai mencapai 106.000 km dengan potensi luas lahan 1.060.000 ha, secara umum termasuk lahan marginal. Berjuta-juta hektar lahan marginal tersebut tersebar di beberapa pulau, prospeknya baik untuk pengembangan pertanian namun sekarang ini belum dikelola dengan baik. Lahan-lahan tersebut kondisi kesuburannya rendah, sehingga diperlukan inovasi teknologi untuk memperbaiki produktivitasnya.

II.                Penyebaran dan Karakteristik Tanah Marginal di Kalimantan
Penyebaran tanah marginal terluas terdapat di Kalimantan Timur (12,96 juta ha), Kalimantan Tengah (7,74 juta ha), dan Kalimantan Barat (7,31 juta ha), dan terkecil di Kalimantan Selatan yaitu 2,13 juta ha (Puslittanak 2000 dalam Suharta 2010).
Kesuburan tanah alami (Suharta, 2010) sangat bergantung pada komposisi mineral bahan induk tanah atau cadangan hara tanah. Semakin tinggi cadangan hara tanah, semakin tinggi pula tingkat kesuburan tanahnya. Cadangan hara di dalam tanah sangat bergantung pada komposisi, jumlah, dan jenis mineralnya. Tanah marginal dari batuan sedimen masam mempunyai cadangan mineral atau cadangan hara yang rendah.
Berdasarkan derajat pelapukannya, jenis mineral di dalam tanah dapat dibedakan dalam dua grup utama, yaitu (a)  mineral resisten atau mineral yang tahan terhadap pelapukan dan  (b) mineral yang tergolong mudah lapuk. Mineral yang tahan terhadap pelapukan antara lain adalah kuarsa (SiO2), dan tergolong mineral miskin hara (Suharta, 2010).
Karena sifatnya yang sukar melapuk, kuarsa banyak dijumpai pada tanah yang telah mengalami pelapukan lanjut atau pada tanah yang terbentuk dari bahan induk yang mengandung kuarsa tinggi, seperti batu pasir kuarsa. Mineral mudah lapuk yang kaya unsur hara adalah muskovit, biotit, ilit, ortoklas, dan sanidin sebagai sumber K; anortit dan albit sebagai sumber Na dan K; amfibol, hiperstin, augit, dan olivine sebagai sumber Ca, Mg, dan Fe; serta apatit sebagai sumber P dan Ca (Mohr et al. 1972 dalam Suharta, 2010).
Batuan sedimen masam di Kalimantan tergolong bahan induk tanah yang mempunyai cadangan mineral atau hara yang sangat rendah. Mineral tersisa atau mineral sisa pelapukan, selain kuarsa yang mendominasi susunan mineralnya, dijumpai dalam jumlah sangat sedikit, seperti kongkresi besi, lapukan mineral, fragmen batuan, epidot, turmalin, monasit, garnet, rutil, zirkon, magnetit, dan opak. Sanidin, ortoklas, dan mika kadang-kadang dijumpai dalam jumlah sangat sedikit (Suharta dan Prasetyo 2008).

SIFAT FISIK TANAH
Tanah marginal dicirikan oleh tekstur tanah yang bervariasi dari pasir hingga liat. Hal tersebut dikarenakan batuan sedimen masam di Kalimantan terbentuk dari dua macam bahan induk tanah, yaitu batu pasir yang bertekstur kasar dan batu liat atau batu lanau yang bertekstur halus.
Hasil penelitian Suharta (2007) dalam Suharta (2010) di Kalimantan Barat menunjukkan bahwa fraksi pasir, debu maupun liat sangat bervariasi, baik pada lapisan atas maupun lapisan bawah. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Prasetyo et al. (2001) di Kalimantan Timur dan Yatno et al. (2000) di Kalimantan Selatan.
Adanya keragaman tekstur tanah yang cukup besar pada tanah marginal dari batuan sedimen masam akan sangat memengaruhi sifat fisik, kimia, maupun sifat mineraloginya sehingga memerlukan kehati-hatian dalam pengelolaan tanahnya. Tanah bertekstur kasar dicirikan oleh kemampuan meretensi air dan hara yang rendah sehingga tanah rawan kekeringan pada musim kemarau dan pencucian hara atau basa-basa dapat tukar secara intensif pada musim hujan. Sebaliknya, tanah bertekstur halus umumnya dicirikan oleh permeabilitas tanah yang lambat.
Beberapa sifat fisik penting lainnya adalah berat isi, total ruang pori, kadar air tersedia, permeabilitas, dan stabilitas agregat.

SIFAT KIMIA
Sifat kimia penting pada tanah marginal adalah reaksi tanah, kandungan bahan organik, hara P dan K, basa-basa dapat tukar, kapasitas tukar kation, kejenuhan basa, dan kejenuhan Al.
Kondisi reaksi tanah yang demikian menjadikan tanah-tanah marginal sering digolongkan sebagai tanah masam. Rendahnya reaksi tanah ini akan berdampak pada meningkatnya kandungan Al yang bersifat toksik terhadap tanaman, selain mempengaruhi ketersediaan P karena P terfiksasi dalam bentuk Al-P. Yatno et al. (2000) mengemukakan bahwa selain Al, Fe-bebas juga banyak dijumpai pada tanah Plinthudults Kalimantan Selatan sehingga akan berpengaruh terhadap ketersediaan P. Kandungan Fe-bebas cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman tanah. Anda et al. (2000) mengemukakan bahwa semakin lanjut perkembangan tanah, semakin meningkat retensi P yang disebabkan oleh meningkatnya Fe-oksida.
Kandungan C-organik rata-rata pada horison A (dalam Suharta, 2010) bervariasi dari sedang sampai rendah, sedangkan pada horison B menurun sangat rendah. Keadaan ini merupakan hal umum, di mana kandungan C-organik pada lapisan atas lebih tinggi daripada di lapisan bawah. Alvaro-Fuentes et al. (2008), serta Blanco dan Lal (2008) mengemukakan bahwa kandungan bahan organik tanah sangat dipengaruhi oleh intensitas dan tipe pengelolaan lahan. Stabilitas bahan organik pada tanah berpelapukan lanjut, secara fisik terlindungi pada pori meso, dan secara kimia melalui ikatan kation (Anda et. al. 2008). Semakin rendah derajat kristalisasinya dan atau semakin kecil ukuran partikelnya,  pengawetan dan stabilitas bahan organik atau karbon tanah akan semakin stabil. Suharta dan Prasetyo (2008) mengemukakan bahwa tanah marginal di Riau didominasi oleh mineral liat kristalin, yaitu kaolinit, goetit, dan kuarsa, sehingga bahan organik tanah tidak stabil.
Kandungan hara P (HCl 25%) rata-rata dalam tanah sangat rendah, baik pada horison A maupun B. Demikian pula hara K rata-rata (HCl 25%) pada horison A bervariasi dari sangat rendah sampai rendah, dan menurun sangat rendah pada horison B. Tingginya hara K pada tanah marginal umumnya disebabkan oleh adanya mineral sumber K, yaitu mika dan atau sanidin (Suharta dan Prasetyo 2008).
Tanah marginal secara alami memiliki kandungan hara P maupun K yang sangat rendah. Hal ini berkaitan dengan susunan mineral atau cadangan mineral tanah marginal yang didominasi (dalam Suharta, 2010) oleh kuarsa dan oksida (ilmenit, magnetit, dan rutil) dan sangat sedikit mineral sumber hara lainnya.
Stabilitas P pada tanah berpelapukan lanjut tergolong tidak stabil (Giaveno et al. 2008).  Stabilitas P dipengaruhi oleh kombinasi karakteristik molekul organik serta oksida Fe dan Al. Bukan hanya jumlah oksida yang menentukan tingkat retensinya, tetapi juga kualitas atau derajat kristalisasi oksida tersebut. Anda et. al. (2008) mengemukakan bahwa semakin tinggi derajat kristalisasi mineral, semakin rendah retensi P-nya.  
Kandungan basa-basa dapat tukar (Ca, Mg, K, dan Na) pada tanah marginal tergolong rendah sampai sangat rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa tanah marginal telah mengalami pencucian lanjut dan atau tanah berasal dari bahan induk miskin basa. Kandungan basa dapat tukar pada horison A lebih tinggi dibandingkan pada horison B di bawahnya. Suharta dan Prasetyo (2008) mengemukakan bahwa kandungan basa dapat tukar pada horison A, walaupun tergolong rendah sampai sangat rendah, secara absolut lebih tinggi dibandingkan pada horison B di bawahnya. Hal tersebut menunjukkan telah terjadi siklus biologis oleh tanaman yang mengangkut unsur hara melalui daun, ranting, dan sisa tanaman lainnya, kemudian dikembalikan ke permukaan tanah atau dekat permukaan tanah mineral sebagai sampah (Quideau et al. 1999). 
Kapasitas tukar kation (KTK) tanah rata-rata pada horison A maupun B ergolong rendah (< 16 cmolc/kg), sedangkan KTK-liat (tanpa koreksi bahan organik) rata-rata pada horison A termasuk tinggi sampai sangat tinggi, dan pada horison B tinggi. Tinggi rendahnya KTK tanah sangat terkait dengan jenis mineral liat dan kandungan bahan organik di dalam tanah. Sebagian besar tanah marginal yang berasal dari batuan sedimen masam didominasi oleh kaolinit yang secara alami mempunyai nilai KTK rendah (Prasetyo et al. 2001 dalam  Suharta, 2010).
Pada tanah yang mempunyai aktivitas liat rendah (KTK rendah), bahan organik menjadi sangat penting dalam meningkatkan nilai KTK tanah. Hasil penelitian, Alkasuma (1994), Suhardjo dan Prasetyo (1998), serta Prasetyo et al.(2001) dalam Suharta (2010) memperlihatkan adanya korelasi positif antara kandungan C-organik dan meningkatnya KTK tanah. Hal ini dapat diartikan bahwa penambahan bahan organik ke dalam tanah akan meningkatkan KTK tanah. Kejenuhan basa tanah marginal dari batuan masam di Kalimantan tergolong rendah sampai sangat rendah.
Pada horison A, kejenuhan basa rata-rata lebih tinggi dibandingkan pada horison B. Hal tersebut terjadi akibat adanya pengkayaan basa-basa melalui siklus biologi. Sebaliknya, kejenuhan Al tergolong sangat tinggi baik pada horison A maupun B, dan kejenuhannya meningkat dengan kedalaman tanah. Suharta dan Prasetyo (2008) dalam Suharta (2010) mengemukakan bahwa tekstur tanah berpengaruh terhadap kejenuhan Al; semakin tinggi kandungan fraksi liatnya, kejenuhan Al semakin meningkat. Selain kandungan fraksi liat yang berpengaruh terhadap kejenuhan Al, jenis mineral liat seperti vermikulit yang terdapat dalam tanah masam tidak stabil dan dalam proses pelapukannya akan membebaskan sejumlah Al ke dalam tanah sehingga kandungan Al dalam tanah meningkat.


III.             PERMASALAHAN PADA TANAH MARGINAL DI KALIMANTAN

 Masalah Tanah Marginal Pada Sifat-Sifat Tanah
Permasalahan umum pada tanah marginal (Suharta, 2010) lahan kering dari batuan sedimen masam adalah reaksi tanah masam, kandungan bahan organik rendah, ketersediaan dan cadangan hara rendah, serta kejenuhan Al tinggi.
Tindakan praktis untuk memperbaiki sifat kimia tanah tersebut meliputi: 1) pengapuran untuk meningkatkan pH tanah dan mengurangi reaktivitas Al, 2) pemberian pupuk makro maupun mikro untuk memperbaiki kesuburan tanah, serta 3) penambahan bahan organik yang berfungsi sebagai bufer terhadap pH rendah dan toksisitas Al melalui pembentukan khelat (Brown et al. 2008 dalam Suharta, 2010). Penambahan bahan organik juga dapat meningkatkan stabilitas tanah dan mendukung pengelolaan lahan sistem konservasi (Erfandi et al. 1999 dalam Suharta, 2010).
Tekstur yang kasar memberikan pengaruh negatif terhadap kemampuan tanah meretensi air dan hara yang rendah, serta tanah rawan kekeringan dan peka erosi. Tekstur yang kasar juga meningkatkan laju infiltrasi serta pencucian hara dan basa-basa di dalam tanah. Yang et al. (2008) dalam Suharta (2010) mengemukakan bahwa tanah yang bertekstur kasar dicirikan oleh kandungan oksida Fe/Al, bahan organik, dan kandungan liat yang rendah.
Oleh karena itu, pupuk P yang diberikan ke dalam tanah (Suharta, 2010) akan mudah hilang tercuci bersama air perkolasi karena kemampuan tanah meretensi hara rendah. Penggunaan biosolid, yaitu pupuk organik yang diperkaya dengan Fe dan Al, dapat mengurangi kehilangan P hingga < 1%. Fe dan Al oksida dari biosolid berperan aktif dalam mengurangi pencucian P melalui pengikatan dalam bentuk organik -Al(OH)2+ atau organik -Fe(OH)2+.
Tekstur tanah, selain berpengaruh langsung terhadap sifat fisik tanah, juga menentukan sifat kimia tanah. Hasil penelitian Suharta (2007) dalam Suharta (2010) pada tanah marginal dari batuan sedimen masam di Kalimantan Barat menunjukkan bahwa kandungan fraksi pasir berkorelasi negative dengan C, N, P, K potensial, dan Aldd-. Semakin tinggi kandungan fraksi pasir, semakin rendah kandungan C-organik, hara P dan K potensial, dan Aldd-.
Sebaliknya, semakin tinggi kandungan fraksi liat, semakin tinggi pula kandungan hara P dan K potensial, basa-basa dapat tukar (Mgdd, Kdd), KTK tanah, dan kejenuhan basa, namun kejenuhan Al hanya akan meningkat sejalan dengan meningkatnya kandungan fraksi liat. Kandungan bahan organik yang rendah di daerah tropis merupakan hal biasa karena tingginya proses mineralisasi.
Bahan organik fraksi ringan (Suharta, 2010) dan yang berasosiasi dengan fraksi pasir akan lebih mudah mengalami mineralisasi dibandingkan dengan bahan organik yang berasosiasi  dengan fraksi debu dan liat (Haile-Mariam et al. 2008). Anda et al.(2008) menyatakan bahwa semakin tidak kristalin atau semakin amorf dan semakin kecil ukuran partikel liatnya, bahan organik dalam tanah akan semakin stabil.
Guimaraes et al. (2008) dalam Suharta (2010) mengemukakan bahwa sistem tanpa olah tanah memberikan manfaat besar terhadap konservasi tanah dan air, mengurangi erosi, serta menurunkan penggunaan tenaga kerja dan biaya produksi. Tanpa olah tanah, sifat kimia tanah dapat terjaga dengan baik, tetapi perlu diterapkan pola pergiliran tanaman dan penambahan kapur serta pemupukan dalam jumlah cukup.
Namun, pendapat tersebut dibantah oleh Alvaro- Fuentes et al. (2008); Blanco dan Lal (2008), serta Olchin et al. (2008), yang mengemukakan bahwa tanpa olah tanah, peningkatan bahan organik hanya terjadi pada 10 cm lapisan teratas, dibandingkan total bahan organik pada tanah yang diolah yang mencapai kedalaman 60 cm. Tanpa olah tanah juga meningkatkan berat isi tanah (Alvaro-Fuentes et al. 2008).

Masalah Tanah Marginal (Masam)  Bagi Petani dan Lahannya 
Pada tanah masam yang difungsikan untuk lahan pertanian, menurut pendapat petani sebagian besar mengatakan bahwa penurunan produktivitas pertanian disebabkan oleh gangguan hama, peyakit, binatang liar dan gulma, kebakaran, banjir, kekeringan dan meningkatnya kebutuhan biaya produksi. Kebutuhan biaya produksi meningkat karena kesuburan tanah menurun dan erosi sehingga kebutuhan akan pupuk bertambah banyak. (Hairiah et al., 2000).
Lebih lanjut Hairiah et al., 2000 menjelaskan bahwa permasalahan pada tanah masam mencakup 2 permasalahan yaitu : permasalahan aktual dan permasalahan potensial. 

Permasalahan aktual
a.                  Kemiskinan hara
Sebagai contoh tanah masam yang termasuk dalam klasifikasi Ultisol dan Oxisol banyak mengandung mineral kuarsa dan seskuioksia besi (Fe) dan Aluminium (A) sementara mineral-mineral lainnya amat sedikit. Mineral-mineral ini memiliki kapasitas menahan hara (KTK) yang rendah, potensi kandungan hara rendah. Kandungan Al sangat tinggi, berakibat terjadinya keracunan tanaman, terkikisnya lapisan tanah atas, karena lapisan bawah memiliki kandungan Al yang lebih tinggi.
b.                  Kandungan bahan organik rendah
Konversi hutan menjadi lahan pertanian berakibat pada penurunan kadar bahan organik tanah dengan cepat. Hal ini disebabkan pelapukan (mineralisasi) bahan organic berlangsung sangat cepat, sebagai akibat tingginya suhu udara dan tanah dan curah hujan yang tinggi. Penurunan bahan organik di lapisan permukaan juga terjadi akibat pengangkutan keluar terhadap hasil panen secara besar-besaran tanpa diimbangi dengan pengembalian sisa-sisa panen dan pemasukan dari luar.
c.                  Kekeringan
Kekeringan terjadi karena air dilapisan perakaran sebagian besar berasal dari air hujan yang masuk kedalam tanah melalui proses infiltrasi. Ketersediaan air bagi tanaman ditentukan oleh dua faktor yaitu : 1) kapasitas tanah untuk menyimpan air ( porositas dan ketebalan lapisan perakaran) 2) distribusi curah hujan (kontinuitas suplai air). Meskipun curah hujan tinggi, tetapi tidak semua air hujan  yang jatuh tertampung dalam lapisan perakaran karena kapasitasnya terbatas. Bahkan sebagaian besar air meninggalkan lapisan tanah atau hilang melalui aliran permukaan dan perkolasi (drainase 

Dangkalnya lapisan tanah
Dangkalnya sebaran perakaran pada tanah-tanah masam biasanya disebabkan oleh dua macam hambatan, yaitu :
1.      Penghalang fisik dengan adanya lapisan keras yang sulit ditembus akar misalnya lapisan kerikil (krokos).
2.      Adanya lapisan beracun pada lapisan tanah bawah, karena tanah mengandung Al sangat banyak. Tanaman yang tidak tahan terhadap Al akarnya akan menghindari lapisan tanah bawah tersebut, sehingga perakarannya menjadi dangkal.
Terbatasnya penyebaran akar menyebabkan jumlah unsur hara dan air yang dapat dijangkau oleh akar semakin sedikit. Dan kapasitas tanah untuk menyediakan unsur hara dan air sangat dipengaruhi oleh kedalaman tanah ini.

Permasalahan potensial
Proses pendangkalan dan pemiskinan hara terjadi karena aliran air yang menghanyutkan material tanah. Aliran air melalui permukaan tanah secara potensial menyebabkan erosi, sementara aliran gravitasi ke lapisan bawah akan melarutkan dan membawa unsur hara yang ada di lapisan atas ke bagian yang lebih dalam. Sehingga jika secara terus menerus dibiarkan lahan marginal ini maka dalam jangka panjang dapat mengakibatkan degradasi lahan yang disebabkan oleh erosi dan pencucian unsur hara. (Hairiah et al., 2000)

IV.             Konservasi Tanah Marginal dengan Cara Biologi di tingkat Petani
Upaya-upaya pengelolaan tanah ditujukan untuk menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan keberlanjutan suatu sistem usaha tani, yaitu mempertahankan produksi tanaman dari waktu ke waktu, mengontrol erosi dan mengatasi serangan hama, penyakit dan gulma (Van der Heide et al., 1992 dalam Hairiah et al., 2000).

4.1.            Pengelolaan Tanah Masam
Pada dasarnya pengelolaan tanah masam ditingkat masyarakat, ada tiga cara yaitu : 1) cara kimia  melalui pengapuran, pemupukan dan penyemprotan herbisida, 2) cara fisik-mekanik  melalui pengolahan tanah dan penyiangan gulma dan 3) cara biologi melalui sistem tertutup seperti yang dijumpai di hutan, dimana dalam sistem hutan alam memiliki siklus hara yang tertutup, hara digunakan untuk pertumbuhan pohon diambil dari tanah melalui cabang , ranting dan daun yang gugur.
Cara biologi inilah yang sangat penting untuk diterapkan pada pengelolaan tanah masam, sehingga selanjutnya akan dibahas lebih lanjut dan lebih luas prinsip-prinsip pengelolaan lahan secara biologi.

4.2.            Pengelolaan Tanah Marginal dengan Cara Biologi
a.                   
M\\\\\   Mempertahankan kandungan Bahan Organik Tanah (BOT)
Salah satu indikator kualitas tanah adalah kandungan bahan organik tanah, selain indikator yang lain seperti sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Walaupun kandungan bahan organik tanah sangat sedikit yaitu 1 – 5% dari berat total tanah mineral, namun pengaruhnya terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah sangat besar. Manfaat bahan organik sudah teruji kehandalannya dalam memperbaiki kualitas tanah (Soegiman, 1982; Stevenson, 1994 dalam Suriadi et.al 2005).
Kandungan bahan organik tanah telah terbukti berperan sebagai kunci utama dalam mengendalikan kualitas tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi. Bahan organik mampu memperbaiki sifat fisik tanah seperti menurunkan berat volume tanah, meningkatkan permeabilitas, menggemburkan tanah, memperbaiki aerasi tanah, meningkatkan stabilitas agregat, meingkatkan kemampuan tanah memegang air, menjaga kelembaban dan suhu tanah, mengurangi energi kinetik langsung air hujan, mengurangi aliran permukaan dan erosi tanah (Oades, 1989; Elliott, 1986; Puget et al., 1995; Jastrow et al., 1996; Heinonen, 1985).
Bahan organik mampu memperbaiki sifat kimia tanah seperti menurunkan pH tanah,  dapat mengikat logam beracun dengan membentuk kelat komplek, meningkatkan kapasitas pertukaran kation dan sebagai sumber hara bagi tanaman (Stevenson, 1994; Tisdall and Oades, 1982).
Dari sifat biologi tanah, bahan organik tanah mampu mengikat butir-butir partikel membentuk agregat dari benang hyphae terutama dari jamur mycorrhiza dan hasil eksresi tumbuhan dan hewan lainnya (Soegiman, 1982; Addiscott, 2000 dalam Suriadi et al., 2005). BOT menyediakan energi bagi berlangsungnya aktivitas organism, sehingga meningkatkan kegiatan organism mikro maupun makro di dalam tanah. (Hairiah et al., 2000).
Untuk mempertahankan sifat kimia, fisik dan biologi tanah, diperlukan masukan bahan 8-9 ton ha-1 setiap tahunnya (Young, 1989 dalam Hairiah et al., 2000) berikut ini beberapa cara yang dapat ditempuh untuk mendapatkan bahan organik ;
1.                  Pengembalian sisa panen
Jumlah sisa panen tanaman pangan yang dapat dikembalikan ke dalam tanah berkisar 2-5 ton ha-1, sehingga tidak dapat memenuhi jumlah kebutuhan bahan organik minimum.
2.                  Pemberian kotoran hewan
Pupuk kandang berasal dari kotoran hewan peliharaan seperti sapi, kerbau, kambing, ayam atau juga bisa kelelewar dan burung. Pengadaan kotoran hewan seringkali sulit dilakukan karena memerlukan tenaga dan biaya transportasi yang banyak.
3.                  Pemberian pupuk hijau
Pupuk hijau bisa diperoleh dari serasah dan dari pangkasan tanaman penutup yang ditanam selama masa bera atau pepohonan dalam larikan sebagai tanaman pagar. Beberapa jenis tanaman pagar dari kelurga leguminosa membuktikan bahwa kaliandra memberikan hasil biomass tertinggi dibanding jenis pohon lainnya.

Pemanfaatan Bahan Organik
Pada dasarnya kandungan bahan organik dapat berupa mineral atau organik (Prasad dan Power, 1997). Kebanyakan bahan organik tanah berasal dari jaringan tanaman, jaringan hewan atau produk tanaman lainnya dan merupakan sumber nitrogen tanah yang utama, disamping itu peranannya cukup besar terhadap perbaikan sifat fisika, kimia, dan biologi tanah (Puslit Tanah dan Agroklimat, 2002 dalam Suriadi et al., 2005). Bahan organik dari sisa tanaman yang ditambahkan ke dalam tanah akan mengalami beberapa kali fase perombakan oleh organisme untuk menjadi humus atau bahan organik tanah.
Bahan organik tanah (Suriadi et al., 2005) berperan penting dan merupakan faktor kunci dalam berbagai proses biokimia dalam tanah yang menentukan tingkat kesuburan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Selain itu bahan organik juga mampu meningkatkan daya tanah menahan air (water holding capacity) terutama pada tanah berpasir, menyediakan energi dalam oksida mikrobiologis, menyediakan dan atau meningkatkan ketersediaan hara tanaman, serta menurunkan keracunan Al pada tanah-tanah masam.
Fahmudin 1999 dalam Suriadi et al., 2005 berpendapat bahwa sisa tanaman biji-bijian dapat mengembalikan unsur K sampai 60% dari kebutuhan K tanaman berikutnya dan sisa tanaman kacang-kacangan dapat menyediakan N sampai sekitar 30% kebutuhan tanaman berikutnya. 
Menjaring Unsur Hara
Rendahnya efisiensi pemupukan akibat proses pencucian unsur hara yang sangat tinggi. Hal ini terjadi karena perakaran tanaman semusim umumnya tersebar pada lapisan atas yang sangat dangkal, sehingga adanya hujan yang tinggi menyebabkan unsur hara yang diberikan dalam bentuk pupuk cepat sekali terbawa ke lapisan yang lebih dalam. Unsur hara yang masuk ke lapisan bawah sudah di luar jangkauan akar tanaman semusim, sehingga dapat dikatakan ‘ hilang ‘ karena tidak dapat di manfaatkan. Unsur hara yang hilang ini perlu diselamatkan agar efisiensi penggunaan pupuk dapat ditingkatkan sehingga dapat meningkatkan keuntungan usaha tani di tanah masam. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan upaya memilih tanaman yang berperakaran dalam.

                 Infeksi Mikoriza
Melakukan infeksi mikoriza kepada akar tanaman di tingkat petani tidak lazim dilakukan. Pemilihan tanaman legume penutup tanah dan pohon yang perakarannya berpotensi tinggi terinfeksi mikoriza sangat dianjurkan sebagai tanaman pagar, guna membantu meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk P.
Pada tanah masam di Nigeria, infeksi mikoriza pada akar tanaman legume penutup tanah (LCC) biasanya rendah berkisar antara 2 – 6 % ( Hairiah dan Van Noordwijk, 1986 dalam Hairiah et al., 2000). Gamal memiliki tingkat infeksi mikoriza yang lebih tinggi daripada tanaman pagar lainnya, sedang jagung dan ubi kayu memiliki tingkat infeksi yang tinggi antara 30 – 40 % .

Infeksi mikoriza (% total panjang akar) pada beberapa tanaman legume penutup tanah pada saat tanaman berumur 14 minggu pada tanah masam (Hairiah dan van Noordwijk, 1986 dalam Hairiah et al., 2000)
Jenis LCC
% Infeksi mikoriza
Koro benguk (Mucuna pruriens var.utilis)
Ki besin (Centrosema pubescens)
Kacang ruji (Pueraria javanica)
Kecipir (Psophocarpus palustris)
Desmodium ovalifolium
Jagung (Zea mays)
Ubi kayu (Manihot esculenta)
Gamal (Gliricidia sepium)
Lamtoro (Leucaena leucocephala)
Flemingia congesta
Bulangan (Gmelina arborea)
3,5
7,4
2,9
4,7
5,8
43
32
12,5
3,5
1,6
3,8

         Menanam tanaman famili Leguminose
Penyediaan N dari udara, penambatan N bebas oleh simbiosis legume-rhizobium merupakan sistem yang menjanjikan. Bakteri rhizobium yang ada dalam tanah menempel pada permukaan bulu akar, kemudian biasanya ujung bulu akar membengkak (melingkar) karena kecepatan pembelahan sel pada kedua sisi akar yang tidak sama terhenti. Pada bagian lekukan, kerusakan dinding sel tanaman terjadi mengakibatkan bakteri rhizobium dapat memasuki bulu akar. Hal ini diawali dengan pembentukan benang infeksi yang tumbuh sepanjang akar rambut dan akhirnya mencapai korteks. Bintil akar kemudian terbentuk dimana penambatan N dari udara bebas berlangsung. Rhizobium hidup dalam bintil akar, menggunakan N bebas dari udara tanah dan mengubahnya menjadi bentuk NH3. 

Memilih tanaman yang tahan terhadap keracunan Al
Tanaman yang tahan terhadap keracunan Al adalah tanaman yang dapat tumbuh dengan baik pada kondisi apa adanya. Beberapa jenis tanaman menunjukkan sifat menghindar. Menurut Marschner (1989) dalam Hairiah et al., 2000 strategi menghindar adalah menyangkut kemampuan akar tanaman dalam merubah lingkungan di rhizosphere melalui peningkatan pH atau eksudasi asam organik atau diendapkan dalam akar. 

V. KESIMPULAN DAN SARAN
Secara alami, tanah marginal dari batuan sedimen masam di Kalimantan mempunyai  cadangan mineral atau hara rendah, reaksi tanah masam, serta kandungan bahan  organik, P dan K, serta basa dapat tukar rendah, tetapi kejenuhan Al tinggi. Oleh karena itu, perbaikan sifat kimia tanah melalui pengapuran, penggunaan bahan organik, dan pemupukan lengkap sangat disarankan untuk meningkatkan reaksi tanah, mengurangi reaktivitas Al, dan meningkatkan hara tanah.
Sifat fisik tanah yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman adalah tekstur kasar pada sebagian tanah sehingga menurunkan kemampuan tanah dalam meretensi air dan hara serta tanah peka erosi. Pengelolaan lahan dengan sistem konservasi sangat diperlukan untuk mempertahankan kesuburan tanah dan mencegah erosi.
Pengelolaan kesuburan tanah marginal secara biologi ditingkat petani dapat di prioritaskan untuk memecahkan masalah yang terjadi di tanah sedimen masam, dengan cara 1) mempertahankan Bahan Organik Tanah (BOT), 2) menjaring Unsur Hara, 3) Infeksi mikorhiza, 4) menanam tanaman legume dan 4) memilih tanaman tahan keracunan Al.
Cara biologi dipilih sebagai solusi yang bijak dan sangat mungkin di terapkan oleh masyarakat, karena lebih efisien dan efektif dari segi ekonomi, tenaga, waktu dan lingkungan.
Bahkan untuk menambah keuntungan petani, dari segi ekologi dan ekonomi petani dapat mengintegrasikan tanaman – ternak, dalam implementasinya konservasi lahan dan air akan terjamin keberlanjutannya jika diintegrasikan dengan ternak (Watung et al., 2003; Subagyono et al., 2004). Ternak dan produk sampingannya berupa kotoran ternak, baik secara langsung maupun diolah terlebih dahulu menjadi kompos (Bokashi) merupakan sumber bahan organik yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman yang diusahakan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa produk dan kandungan nitrogen kotoran ternak cukup memadai untuk mensubstitusi unsur hara yang dibutuhkan tanaman apabila bahan tersebut dikelola dengan baik.
Sedangkan tanaman yang digunakan sebagai bahan konservasi lahan dan air dapat dimanfaatkan sebagai pakan hijauan yang diperlukan untuk makanan ternak.

Daftar Pustaka

Hairiah K,  Widianto, Sri Rahayu Utami, Didik Suprayogo, Sunaryo, SM sitompul, Betha Lusiana, Rachmat Mulia, Meine van Noordwijk dan Georg Cadisch. Pengelolaan Tanah Masam Secara Biologi. ICRAF. Bogor

Karda IW, Spudiati, 2005. Meningkatkan Produktivitas Lahan Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pakan dan Ternak Ruminansia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Suharta Nata, 2010. Karakteristik dan Permasalahan Tanah Marginal di Kalimantan 139-146. Jurnal Litbang Pertanian, 29(4), 2010

Widya Nasih Y, 2009. Membangun Kesuburan Tanah di Lahan Marginal. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 9 No. 2 (2009) p: 137-141 Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta

Suriadi Ahmad, Moh. Nazam, 2005. Penilaian Kualitas Tanah Berdasarkan Kandungan Bahan Organik (Kasus di Kabupaten Bima). Seminar Nasional Tahun 2005. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar