Kamis, 01 Maret 2012

Reklamasi Lahan Bekas Endapan Sungai


I.       Pendahuluan
Sungai/laut atau aliran air yang menyediakan kemudahan hidup bagi masyarakat disekitarnya itu juga bisa menjadikan masyarakat tadi menghadapi risiko bencana tahunan akibat banjir. Banjir dapat terjadi akibat naiknya permukaan air lantaran curah hujan yang diatas normal, perubahan suhu, tanggul/bendungan yang bobol, pencairan salju yang cepat, terhambatnya aliran air di tempat lain. (Sebastian, 2008).

Ditjen (2009) menjelaskan banjir dalam pengertian umum adalah debit aliran air sungai dalam jumlah yang tinggi, atau debit aliran air di sungai secara relatif lebih besar dari kondisi normal akibat hujan yang turun di hulu atau di suatu tempat tertentu terjadi secara terus menerus, sehingga air tersebut tidak dapat ditampung oleh alur sungai yang ada, maka air melimpah keluar dan menggenangi daerah sekitarnya.

Banjir kilat/dadakan biasanya didefinisikan sebagai banjir yang terjadi hanya dalam waktu kurang dari 5 jam sesudah hujan lebat mulai turun. Biasanya juga dihubungkan dengan banyaknya awan kumulus yang menggumpal di angkasa, kilat atau petir yang keras, badai tropis atau cuaca dingin (Seta, 1991 dalam Sebastian, 2008).

Umumnya banjir dadakan akibat meluapnya air hujan yang sangat deras, khususnya bila tanah bantaran sungai rapuh dan tak mampu menahan cukup banyak air. Penyebab lain adalah kegagalan bendungan/tanggul menahan volume air (debit) yang meningkat, perubahan suhu menyebabkan berubahnya elevasi air laut, dan atau berbagai perubahan besar lainnya di hulu sungai termasuk perubahan fungsi lahan (Arsyad, 1989 dalam Sebastian, 2008). Saat ini yang menjadi isu publik adalah pengubahan lahan, kepadatan pemukiman, penyebab tertutupnya lahan, erosi dan sedimentasi yang terjadi diberbagai kawasan perkotaan dan daerah.

Kerawanan terhadap banjir dadakan akan meningkat bila wilayah itu merupakan lereng curam, sungai dangkal dan pertambahan volume air jauh lebih besar daripada yang tertampung (Suripin, 2001 dalam Sebastian, 2008). Luapan sungai berbeda dari banjir dadakan karena banjir ini terjadi setelah proses yang cukup lama, meskipun proses itu bisa jadi lolos dari pengamatan sehingga datangnya banjir terasa mendadak dan mengejutkan.

Selain itu banjir luapan sungai kebanyakan bersifat musiman atau tahunan dan bisa berlangsung selama berhari-hari atau berminggu-minggu tanpa berhenti. Penyebabnya adalah hutan gundul, kelongsoran daerah-daerah yang biasanya mampu menahan kelebihan air, ataupun perubahan suhu/musim, atau terkadang akibat kedua hal itu sekaligus.

Banjir terjadi sepanjang sistem sungai dan anak-anak sungainya, mampu membanjiri wilayah luas dan mendorong peluapan air di dataran rendah, sehingga banjir yang meluap dari sungai-sungai selain induk sungai biasa disebut ‘banjir kiriman’. Besarnya banjir tergantung kepada beberapa faktor, di antaranya kondisi-kondisi tanah (kelembaban tanah, vegetasi, perubahan suhu/musim, keadaan permukaan tanah yang tertutup rapat oleh bangunan; batu bata, blok-blok semen, beton, pemukiman/perumahan dan hilangnya kawasan-kawasan tangkapan air / alih fungsi lahan (Asdak, 2004 dalam Sebastian, 2008).

Selain banjir dadakan atau luapan, ada banjir bandang. Banjir bandang adalah banjir besar yang datang dengan tiba-tiba dan mengalir deras menghanyutkan benda-benda besar seperti kayu dan sebagainya. Dengan demikian banjir harus dilihat dari besarnya pasokan air banjir yang berasal dari air hujan yang jatuh dan diproses oleh DTA-nya (catchment area), serta kapasitas tampung palung sungai dalam mengalirkan pasokan air tersebut. Perubahanpenutupan lahan di DAS dari hutan ke lahan terbuka atau pemukiman, menyebabkan air hujan yang jatuh diatasnya secara nyata meningkatkan aliran pemukaan (runoff) yang selanjutnya bisa memicu terjadinya banjir di hilir.

Penyebab bencana kekeringan dan banjir dapat dibedakan atas tiga tingkatan: (i) langsung   proximate), (ii) tak langsung (intermediate) dan (iii) dasar (ultimate). (Rahayu et.al., 2009) Penyebab yang paling dasar adalah tidak ada/kurang baiknya langkah-langkah pencegahan dampak banjir di daerah hilir, yang mungkin disebabkan karena pengelola daerah kurang mampu dalam memprediksi besar kecilnya debit air atau karena ulah manusia yang memicu terjadinya bencana.

Penyebab langsung biasanya berupa periode curah hujan yang lebih tinggi dari harapan (menyebabkan banjir)  atau lebih rendah dari harapan (menyebabkan kekeringan). Penyebab tak langsung adalah  hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana kondisi DAS menangkap curah hujan dan mengalirkannya ke sungai serta bagaimana tipe tutupan/penggunaan lahan mengubah fungsi hidrologi DAS. (Rahayu et.al., 2009).

Banjir dadakan atau banjir luapan dan banjir merupakan peristiwa alam yang mengakibatkan kerusakan tanah seperti hilangnya lapisan permukaan di daerah hulu, mengendap di daerah tengah berupa lumpur, pasir, kerikil, bahkan jika masih mampu berjalan endapan terbawa sampai pada daerah hilir dan bermuara yang lambat laun membentuk delta.

Tanah endapan sungai menjadi permasalahan yang perlu dicermati, karena tanah ini termasuk tanah alluvial yang termasuk dalam entisol, tanah muda yang baru mencapai tingkat permulaan perkembangan tanah. Oleh karena itu perlu peran agroforestri untuk mereklamasi lahan endapan sungai.

II.    Kawasan Rawan Banjir

Menurut Isnugroho (2006) dalam Pratomo (2008), kawasan rawan banjir merupakan kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana banjir sesuai karakteristik penyebab  banjir, kawasan tersebut dapat dikategorikan menjadi empat tipologi sebagai berikut :

a.       Daerah Pantai.
Daerah pantai merupakan daerah yang rawan banjir karena daerah tersebut merupakan dataran rendah yang elevasi permukaan tanahnya lebih rendah atau sama dengan elevasi air laut pasang rata-rata (mean sea level) dan tempat bermuaranya sungai yang biasanya mempunyai permasalahan penyumbatan muara.

b.      Daerah Dataran Banjir (Floodplain Area).
Daerah dataran banjir (Floodplain Area) adalah daerah di kanan-kiri sungai yang muka tanahnya sangat landai dan relatif datar, sehingga aliran air menuju sungai sangat lambat yang mengakibatkan daerah tersebut rawan terhadap banjir baik oleh luapan air sungai maupun karena hujan local. Kawasan ini umumnya terbentuk dari endapan lumpur yang sangat subur sehingga merupakan daerah pengembangan (pembudidayaan) seperti perkotaan, pertanian, permukiman dan pusat kegiatan perekonomian, perdagangan, industri, dll.

c.       Daerah Sempadan Sungai.
Daerah ini merupakan kawasan rawan banjir, akan tetapi, di daerah perkotaan yang padat penduduk, daerah sempadan sungai sering dimanfaatkan oleh manusia sebagai tempat hunian dan kegiatan usaha sehingga apabila terjadi banjir akan menimbulkan dampak bencana yang membahayakan jiwa dan harta benda.

d.      Daerah Cekungan
Daerah cekungan merupakan daerah yang relatif cukup luas baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Apabila penataan kawasan tidak terkendali dan sistem drainase yang kurang memadai, dapat menjadi daerah rawan banjir.

III.  Tipe-tipe Sungai

a.      Sungai Lurus (Straight)
Sungai lurus (Gambar 1) umumnya berada pada daerah bertopografi terjal mempunyai energi aliran kuat atau deras. Energi yang kuat ini berdampak pada intensitas erosi vertikal yang tinggi, jauh lebih besar dibandingkan erosi mendatarnya. Kondisi seperti itu membuat sungai jenis ini mempunyai kemampuan pengendapan sedimen kecil, sehingga alirannya lurusnya tidak berbelok-belok atau low sinuosity. Karena kemampuan sedimentasi yang kecil inilah maka sungai tipe ini jarang yang meninggalkan endapan tebal. Sungai tipe ini biasanya dijumpai pada daerah pegunungan, yang mempunyai topografi tajam. Sedimen sungai lurus ini sangat jarang dijumpai dan biasanya dijumpai pada jarak yang sangat pendek.

b.      Sungai Kekelok (meandering)
Sungai kekelok adalah sungai yang alirannya berkelok-kelok atau berbelok-belok (Gambar 1) Pada sungai tipe ini erosi secara umum lemah sehingga pengendapan sedimen kuat.  Erosi horisontalnya lebih besar dibandingkan erosi vertikal, perbedaan ini semakin besar pada waktu banjir. Hal ini menyebabkan aliran sungai sering berpindah tempat secara mendatar. Ini terjadi karena adanya pengikisan horisontal pada tepi sungai oleh aliran air utama yang pada daerah kelokan sungai pinggir luar dan pengendapan pada kelokan tepi dalam. Kalau proses ini berlangsung lama akan mengakibatkan aliran sungai semakin bengkok. Pada kondisi tertentu bengkokan ini terputus, sehingga terjadinya danau bekas aliran sungai yang berbentuk tapal kuda atau oxbow lake.

Gambar 1. Tipe-tipe sungai
Pada tipe sungai kekelok proses pengendapan terakumulasi pada 5 (lima) bagian yang berbeda (Boggs, 1995, Gambar 2), yaitu :
a.       Saluran utama (Main Channel dan channel fills),
b.      Gosong (point bar),
c.       Tanggul alam (natural levee),
d.      Dataran banjir (flood-plain),
e.       Danau oxbow (oxbow lake).
Sedimen yang diendapkan pada saluran utama terdiri dari material yang umumnya berbutiran lebih kasar yang dapat berpindah hanya oleh aliran sungai dengan kecepatan maximum pada saat puncak banjir (peak flood). Butiran suspensi seperti lempung dan lanau terbawa lebih cepat dan diendapkan pada daerah floodplain. Endapan pada saluran utama terdiri dari reruntuhan dinding sungai yang roboh akibat pengikisan oleh aliran arus (Walker dan Cant, 1979 dalam Walker, 1992), yang lebih dikenal dengan lag deposits. Karena saluran utama ini selalu bergerak (berpindah) dan pada dasar sungai selalu diendapkan butiran yang lebih kasar maka endapan ini merupakan dasar dari suatu gosong.
Gambar 2. Morfologi tipe sungai kekelok (Einsele,1992)
Gosong (point bar) terakumulasi pada sisi dalam kelokan sungai, umumnya terjadi ketika material di sisi luar bank tererosi. Pada bagian gosong, endapan yang terbentuk umumnya menghalus ke atas, dengan struktur silang siur dan “dunes” yang berkembang baik. Pada sungai kekelok tua kadang-kadang gosong yang telah terbentuk terpotong kembali oleh aliran akibat lekukan aliran yang sangat besar yang terjadi saat banjir. Hal ini bisa terjasi pada gosong yang mempunyai kemiringan lereng rendah dan mempunyai tingkat kelokan yang tinggi.
Tanggul alam (natural levee) adalah tanggul di kanan kiri sungai yang membatasi aliran sungai. Tanggul alam ini terbentuk bersamaan dengan terbentuknya aliran itu sendiri. Tanggul terbentuk selama banjir sedang yang hanya mencapai ketinggian sama dengan tebing sungai (channel bank). Dengan menurunnya kecepatan arus, terendapkanlah sedimen di sepanjang tebing sungai tersebut. Pada saat banjir berikutnya endapan baru akan terus terbentuk di atas tebing ini dan membentuk tanggul alam sehingga tanggul ini semakin lama semakin tinggi. Tinggi maksimum yang dibentuk oleh tanggul alam mengindikasikan permukaan air maksimum yang terjadi pada saat banjir. Pada umumnya endapan berbutir halus. Arus sewaktu banjir, juga akan menyebabkan terkikisnya endapan yang telah terbentuk pada gosong atau bahkan mengerosi tanggul alam dan memutuskannya. Sehingga air akan melimpah ke dataran bajir di kiri-kanan aliran sungai dan akan membentuk crevasse splays deposites. Crevasse ini akan membentuk pola dan sistem saluran tersendiri. Struktur sedimen yang berkembang antara lain grading, lapisan horisontal ripple cross bedding.
Dataran banjir (floodbasin) merupakan bagian terendah dari floodplain. Ukuran dan bentuk dari dataran banjir ini sangat tergantung dari sejarah perkembangan banji, tetapi umumnya berbentuk memanjang (elongate). Endapan dataran banjir (floodplain) biasanya terbentuk selama proses penggenangan (inundations). Umumnya Endapan dataran banjir ini didominasi oleh endapan suspensi seperti lanau dan lumpur, meskipun kadang-kadang muncul batupasir halus yang terendapkan oleh arus yang lebih kuat pada saat puncak banjir. Kecepatan pengendapannya pada umumnya sangat rendah, berkisar antara 1 dan 2 cm lapisan lanau-lempung per periode banjir (Reineck dan Singh, 1980). Endapannya mengisi daerah relatif datar pada sisi luar sungai dan kadang-kadang mengandung sisa tumbuhan serta terbioturbasikan oleh organisme-organisme.
Akibat proses pengikisan mendatar pada belokan sungai dan pengendapan yang terjadi di sisi lain mengakibatkan suatu saat dua buah kelokan aliran meander saling bertemu. Akibat dari peristiwa ini menyebabkan terjadinya aliran yang terputus yang menyerupai danau yang disebut oxbow lake (Gambar 3).

Gambar 3. Sketsa pembentukan oxbow lake
Penampang vertikal dari endapan sungai kekelok dicirikan oleh runtunan batuan sedimen dalam setiap sekuen mempunyai besar butir menghalus ke arah atas (Gambar 4). Dasar atau alas setiap sekuen merupakan bidang erosi yang kemudian ditindih oleh lapisan yang berbutir kasar-sangat kasar. Pada bagian bawahnya (di atas bidang erosi) sangat umum dijumpai lag deposits tadi. Fragmen dari lag deposits ini umumnya terdiri atas batu lempung atau batu serpih yang merupakan hasil runtuhan tebing sungai. Pada bagian bawah sekuen ini sering terbentuk silang siur mangkok dan kemudian berubah jadi planar ke arah atas. Bagian atasnya terdiri atas batuan berbutir halus (batu serpih, batu lanau atau batu lempung) dengan sisipan tipis batu pasir. Struktur sedimen yang dijumpai umumnya berukuran kecil seperti laminasi, silang siur dan ripple mark. Bagian bawah dari sekuen yang berupa endapan berbutir kasar-sangat kasar merupakan hasil endapkan pada alur sungai, sedangkan endapan halus umumnya merupakan hasil endapan di daerah dataran banjir. Sisipan tipis batu pasir pada bagian atas sekuen merupakan endapan limpahan banjir yang memotong tanggul alam.
Gambar 4 Penampang vertikal ideal dari endapan sungai meandering (Walker dan Cant, 1979 dalam Boggs,1995)
a.      Sungai Teranyam (braided)
Sungai teranyam umumnya terdapat pada daerah datar dengan energi arus alirannya lemah dan batuan di sekitarnya lunak. Sungai tipe ini bercirikan debit air dan pengendapan sedimen tinggi. Daerah yang rata menyebabkan aliran dengan mudah belok karena adanya benda yang merintangi aliran sungai utama.
Tipe sungai teranyam dapat dibedakan dari sungai kekelok dengan sedikitnya jumlah lengkungan sungai, dan banyaknya pulau-pulau kecil di tengah sungai yang disebut gosong. Sungai teranyam akan terbentuk dalam kondisi dimana sungai mempunyai fluktuasi dischard besar dan cepat, kecepatan pasokan sedimen yang tinggi yang umumnya berbutir kasar, tebing mudah tererosi dan tidak kohesif (Cant, 1982). Biasanya tipe sungai teranyam ini diapit oleh bukit di kiri dan kanannya. Endapannya selain berasal dari material sungai juga berasal dari hasil erosi pada bukit-bukit yang mengapitnya yang kemudian terbawa masuk ke dalam sungai. Runtunan endapan sungai teranyam ini biasanya dengan pemilahan dan kelulusan yang baik, sehingga bagus sekali untuk batuan waduk (reservoir).
Umumnya tipe sungai teranyam didominasi oleh pulau-pulau kecil (gosong) berbagai ukuran yang dibentuk oleh pasir dan krikil. Pola aliran sungai teranyam terkonsentrasi pada zona aliran utama. Jika sedang banjir sungai ini banyak material yang terbawa terhambat pada tengah sungai baik berupa batang pepohonan ataupun ranting-ranting pepohonan.
Akibat sering terjadinya banjir maka di sepanjang bantaran sungai terdapat lumpur yang mengusai hampir di sepanjang bantaran sungai. Struktur sedimen yang umum terbentuk adalah silang siur, gelembur gelombang dan ripltion. Pada saat air surut terjadi silang siur dengan perkembangan pada gelembur gelombang dan perarian sejajar. Hal ini terjadi pula pada permukaan bar. Pola pengendapan pada sungai teranyam pada skala kecil tidak terlihat pada beberapa pembacaan well log, karena saluran dan bar dapat berubah-ubah, pengendapan akan terlihat dengan secara acak dalam ukuran yang besar dan distribusi lateral isi dari fragmen bar dan salluran tersebut.
Jika sungai sedang tidak dalam keadaan banjir maka yang terendapkan adalah butiran halus dengan laminasi di bagian atas dari kerikil. Sedangkan lempung banyak terbentuk pada bagian tanggul dari sungai. Diagram dari sungai teranyam seperti terlihat dalam Tabel  yang memperlihatkan jika semakin rendah energi arus aliran, maka terbentuklah gelembur gelombang (ripple) halus pada batuan pasir yang melaminasi di bagian atas.
Tabel 1.Lingkungan Pengendapan Sungai Teranyam (Boggs halaman 310)
Bar longitudinal atau di Indonesia disebut gosong adalah pulau ditengah sungai yang mempunyai sumbu panjang sejajar dengan arah aliran sungai. Endapan yang berbutir kasar biasanya tersebar di sekitar sumbu dan bagian bawah dari gosong. Besar butir endapan ini mengecil ke arah atas dan bawah dari gosong. Struktur sedimen yang umumnya terdapat pada gosong adalah lapisan mendatar yang tebal yang diendapkan dalam kondisi upper-flow regim.
Linguiod dan tranverse bars berada pada sudut garis potong ke arah alur sungai, keistimewaan karakteristik pasir pada aliran teranyam. Bentuk lobate atau rhombic Linguoid bars, dengan penurunan ketinggian paras muka sungai. Untuk transverse bars muncul akibat adanya riak air sungai yang besar sehingga dapat mengakibatkan banjir. Lateral bars, terdapat pada beberapa panjang tepi sungai, karena proses pengendapan dan erosi dan banjir pada setiap kali musim banjir yang ditimbulkan
Gambar 5. Struktur bar pada sungai teranyam (Boggs, 2001).
Endapan sungai teranyam pada umumnya terdiri atas batu pasir kasar sampai kerikil. Lumpur terendapkan pada bagian dasar aliran sungai. Pada longitudinal bar cenderung mengubah krikil menjadi pasir. Endapan dari sungai teranyam bervariasi atas besarnya beban pengendapan yang terkirim, kedalaman dari air sungai dan variasi pembelokan aliran sungai. Umumnya proses pengendapan rangkaian facies vertikal juga tidak menunjukan perbedaan khusus (Gambar 6).
Scott-type, umumnya terdiri dari batuan kasar, kerikil-kerikil dan sedikit adanya sisipan batuan pasir pada sepanjang penampang vertikal dari type ini. Model ini menunjukan sedikitnya perkembangan dari pengendapan batuan krikil.
Donjek-type, model ini teridi dari variasi lapisan pengendapan pada sungai teranyam dengan campuran beban pasir dan kekrikil. Batuan berpasir banyak mendominasi pada Linguoid dan transverse bars. Pada penampang vertikal ini terlihat variasi dari ketebalan pembentukan lapisan.
Platte-type, pengendapan tidak begitu nampak, sekalipun terindikasi adanya rangkaian pengendapan pada sebagian longitudinal bar dan superiposes linguoid bars dan ada sedit tanda berupa coal.
Bijou Creek-type, karakteristik proses pengendapan oleh pengendapan superimposes flood sejak akumulasi arus air pada setiap kali terjadinya banjir.
Gambar 6. Penampang tegak batuan berpasir pada teranyam (Boggs, 1995)
Penampang tegak dari batuan berpasir untuk arus teranyam berawal dari endapan yang menggosok permukaan lantai bawah (bed SS) menumpuk pada cross-bedding (bed A). Batuan pasir terlihat menumpuk pada lapisan di atas (bed B) dan adanya ketebalan besarnya planar tabular (bed C). Endapan memenuhi secara baik pada bagian atas saluran (bed D) dengan adanya isolasi (bed E) menumpuk pada lapisan tegak siltstone interbeded dengan batuan lumpur (bed F) dan yang terakhir batuan berpasir (bed G)
Pada sungai teranyam cenderung membentuk variasi kedalaman dari lebar sungai dan karena arah aliran dan energi sungai membentuk lag deposit pada lantai dasar sungai, pasir teralirkan pada bedload system. Kedalaman sungai teranyam berkisar 3 meter atau lebih dengan membentuk adanya crossbedding. Pengendapan sungai dengan adanya Flood stage dapat gosong membentuk channels beds, preserving flood stage sedimentary structure. Pada muka arus penampang sungai terjadi ripple lapisan pasir dengan gradasi mendatar pada lapisan atas sungai. Karena kaya akan mineral makanan maka pada sebagian bantaran sungai dan bekas luapan-luapan banjir maka akan tumbuh-tumbuhan akibat biji-bijian tumbuhan itu terbawa banjir oleh sungai dan mengendap pada bantaran sungai (Gambar 7.).
Gambar 7. Block Diagram sungai teranyam dan terbentuknya beberapa lapisan pengendapan
b.      Sungai Anastomasing
Sungai anastomasing terjadi karena adanya dua aliran sungai yang bercabang-cabang, dimana cabang yang satu dengan cabang yang lain bertemu kembali pada titik dan kemudian bersatu kembali pada titik yang lain membentuk satu aliran. Energi alir sungai tipe ini rendah. Ada perbedaan yang jelas antara sungai teranyam dan sungai anastomosing. Pada sungai teranyam, aliran sungai menyebar dan kemudian bersatu kembali menyatu masih dalam lembah sungai tersebut yang lebar. Sedangkan untuk sungai anastomasing adalah beberapa sungai yang terbagi menjadi beberapa cabang sungai kecil dan bertemu kembali pada induk sungai pada jarak tertentu (Gambar 1.). Pada daerah onggokan sungai sering diendapkan material halus dan biasanya ditutupi oleh vegetasi.

I.       Indikator Terbentuknya Endapan Sungai
1.      Erosi
Erosi tanah (Ditjen RLPS, 2009) adalah pengelupasan permukaan tanah oleh energi air, angin, es atau agen geologis lainnya seperti gravitasi. Indonesia sebagai daerah tropis basah umumnya erosi tanah disebabkan oleh energi air (hujan). Energi air hujan mengikis tanah dalam bentuk : tetes air hujan (rain drop), baik secara langsung maupun dalam bentuk air lolos tajuk dan aliran batang pohon (through fall dan stemflow), serta limpasan air permukaan. Interaksi antara tanah dan air hujan tersebut dapat menimbulkan berbagai bentuk erosi yaitu:
1.      Hujan dan limpasan permukaan, menghasilkan erosi percik (splash erosion), erosi lapis (sheet/interill erosion) dan erosi alur (rill erosion)
2.      Limpasan permukaan terkonsentrasi, menimbulkan morfoerosi seperti erosi jurang (gully erosion), erosi tebing sungai (stream bank eosion), dan erosi tepi jalan.
3.      Air bawah tanah, menyebabkan erosi lubang saluran (tunnel erosion) dan gerak masa tanah (mass movement) atau tanah longsor (land slide).
Dampak erosi (Rahayu et.al., 2009) dapat dirasakan secara langsung maupun secara tidak langsung, baik di tempat terjadinya erosi ataupun di tempat lain dapat diuraikan pada tabel 2 sebagai berikut:

Tabel 2. Dampak Erosi secara Langsung maupun Tak Langsung
Dampak
Erosi Tanah
Bentuk Dampak
Dampak ditempat Kejadian Erosi
Dampak di luar tempat kejadian
Langsung
1. Kehilangan lapisan tanah yang baik bagi yang berjangkarnya akar tanaman
2. Kehilangan unsur hara dan kerusakan struktur tanah
3. Peningkatan penggunaan energi/ input untuk proses peroduksi pertanian
4. Kemerososan produktivitas tanah
5. Pemiskinan petani
1.Pelumpuran dan pendangkalan sungai, waduk, dan saluran irigrasi serta badan lainnya
2. Tertimbunnya lahan pertanian jalan dan bangunan lain
3. Menghilangkan mata air dan kualitas air menurun
4. Kerusakan ekosistem perairan

Tidak langsung
1. Berkurangnya alternatif penggunaan tanah
2. Timbulnya tekanan untuk membuka laban baru
3. Timbulnya keperluan akan perbaikan lahan dan bangunan yang rusak
1. Kerugian oleh memendeknya umur waduk
2. Meningkatnya frekuensi dan besarnya banjir


Kerusakan tanah (Suprayogo, 2002) terutama karena erosi, tidak hanya dirasakan oleh daerah dimana erosi terjadi (daerah hulu), tetapi juga didaerah yang dilalui (daerah tengah) dan didaerah hilir.

Didaerah hulu, dimana terjadi pengikisan dan pengangkutan lapisan tanah atas, akan terjadi penurunan, kerusakan produktivitas tanah. Ada tiga hal sebagai dampak terjadinya penurunan produktivitas tanah karena erosi, yaitu (1) penurunan kandungan bahan organik (2) penurunan kandungan hara tanaman  dan (3) kekurangan air. Dalam proses erosi, tanah yang terkikis dan yang terangkut adalah lapisan tanah atas yang merupakan sumber kehidupan tanaman karena hanya pada lapisan ini tanaman dapat memperoleh hara yang cukup. Pada tabel 3 disajikan perkiraan hubungan antara kehilangan tanah, bahan organik dan hara pada Regosol (B.O lapisan atas=3%, N= 0,15 %, P= 0,10%, K= 0,20% dan B.I>= 1,2 g/cm3).

Tabel 3. Perkiraan kehilangan hara tanah karena erosi air hujan (Carson dan Utomo 1986 dalam Suprayogo, 2002)
Kehilangan
Macam pengelolaan
Teras bangku
(jagung)
Teras gulud
(cassava + jagung)
Tanpa teras
(Kentang)
Tanah (mm/th)
Bahan organik (kg/ha/tahun)
N (kg/ha/tahun)
P (kg/ha/tahun)
K (kg/ha/tahun)
0,4
150
7,5
5,0
10
1,6
600
30
20
40
8,0
3000
150
100
200

Dengan terangkutnya bahan organik dan partikel tanah oleh erosi maka akan terjadi perubahan sifat tanah. Data di Tabel 2 menunjukkan bahwa erosi tidak hanya berpengaruh terhadap kandungan bahan organik tanah atas, tetapi juga kandungan N, P, K dan unsure lainnya.

Keadaan lahan yang terbuka (Suprayogo, 2002) yang diikuti dengan pengankutan bahan organik dan pemadatan tanah menyebabkan kapasitas infiltrasi tanah menurun. Akibatnya air mengalir dipermukaan tanah sebagai limpasan permukaan, dan air yang disimpan dalam tanah sedikit. Hal ini mengakibatkan kemampuan tanah menyediakan air berkurang. Tabel 4 menunjukkan bahwa produksi tanaman makin rendah dengan makin tipisnya lapisan tanah atas.

Tabel 4. Pengaruh Kedalaman tanah atas terhadap produksi Jagung dan Oats di tanah Cecil, Georgia (Elswaify et.al, 1980 dalam Suprayogo, 2002)
Kedalaman
Jagung
Oats
Kg/ha
5,0
12,5
20,0
601
795
1029
1584
1958
2227

Tanah yang terkikis tersebut dibawah air limpasan permukaan dan jika daya angkut air ini turun sehingga tidak mampu lagi mengangkut tanah yang dibawa, tanah-tanah tersebut akan mengendap yang umumnya terjadi di sungai, waduk/danau atau bendungan-bendungan. Hal ini tentu saja akan mengurangi efektifvitas daya guna sungai, waduk dan bendungan sehubungan dengan fungsinya sebagai sumber kebutuhan manusia akan air. Sebagai akibat lebih lanjut dengan adanya pendangkalan ini, dasar sungai atau waduk menjadi dangkal sehingga terjadilah banjir.

Di daerah hilir, akibat erosi yang telah sangat lama diketahui banjir dengan segala akibatnya., bahkan masalah penyediaan air minum. Karena air yang masuk kedalam tanah didaerah hulu berkurang sebagai akibat terbukanya tanah dan penurunan infiltrasi dan perkolasi, maka air tanah yang sampai ke hilir berkurang. Sebagai akibatnya jika air tanah diambil terjadilah intrusi air laut. Sedimentasi yang tinggi juga merusak terumbu karang dan habitat rumput laut.

2.      Sedimentasi

Sungai menghasilkan sedimen terangkut yang berbeda sangat nyata (keruh dan jernih) diantara keduanya. Bagian anak sungai yang airnya jernih hulunya berasal dari daerah vulkanik dengan tekstur tanah berpasir, sedang bagian anak sungai yang airnya keruh hulunya berasal dari perbukitan yang terbentuk dari batuan sedimen dengan tekstur tanah berlempung. (Ditjen, 2009)

Sedimentasi adalah jumlah material tanah berupa kadar lumpur dalam air oleh aliran air sungai yang berasal dari hasil proses erosi di hulu, yang diendapkan pada suatu tempat di hilir dimana kecepatan pengendapan butir-butir material suspensi telah lebih kecil dari kecepatan angkutannya. Dari proses sedimentasi, hanya sebagian material aliran sedimen di sungai yang diangkut keluar dari DAS, sedang yang lain mengendap di lokasi tertentu di sungai selama menempuh perjalanannya.

Indikator terjadinya sedimentasi dapat dilihat dari besarnya kadar lumpur dalam air yang terangkut oleh aliran air sungai, atau banyaknya endapan sedimen pada badan-badan air dan atau waduk. Makin besar kadar sedimen yang terbawa oleh aliran berarti makin tidak sehat kondisi DAS.  Besarnya kadar muatan sedimen dalam aliran air dinyatakan dalam besaran laju sedimentasi (dalam satuan ton atau m3 atau mm per tahun). Laju sedimentasi harian pada SPAS dapat dihitung dengan rumus:
Qs = 0.0864 x C x Q
Ket:
Qs (ton/hari)
C (mg/l)
Q (m3/dt)
= debit sedimen
= kadar muatan sedimen
= debit air sungai

Kadar muatan sedimen dalam aliran air diukur dari pengambilan contoh air pada berbagai tinggi muka air (TMA) banjir saat musim penghujan. Qs dalam ton/hari dapat dijadikan dalam ton/ha/th dengan membagi nilai Qs dengan luas DAS. Selanjutnya nilai Qs dalam ton/ha/th dikonversikan menjadi Qs dalam mm/tahun dengan mengalikannya dengan berat jenis (BJ) tanah menghasilkan nilai tebal endapan sedimen. Berat jenis tanah sebaiknya diukur berdasarkan analisis sifat fisik tanah di daerah yang bersangkutan. Sebagai gambaran Berat Jenis tanah pada berbagai macam tekstur tanah dapat dilihat pada Tabel 5. Sedang klasifikasi tingkat sedimentasi disajikan pada Tabel 6.

Tabel 5. Berat Jenis tanah rata-rata dan kisarannya pada berbagai tekstur tanah
No.
Tekstur Tanah
Berat Jenis (g/cm3)
1
2
3
4
5
6
Pasir (sandy)
Lempung berpasir (sandy loam)
Lempung (loam)
Lempung berliat (clay loam)
Liat berdebu (silty clay)
Liat (clay)
1,65 (1,55 – 1,80)
1,50 (1,40 – 1,60)
1,40 (1,35 – 1,50)
1,35 (1,30 – 1,40)
1,30 (1,25 – 1,35)
1,25 (1,20 – 1,30)
Sumber : Beasley & Huggins (1991) dalam Ditjen 2009

Tabel 6. Klasifikasi tingkat sedimentasi
No
Sedimentasi (mm/th)
Kelas
Skor
1
2
3
< 2
2 – 5
> 5
Baik
Sedang
Jelek
1
3
5

Pengukuran hasil sedimen (Sy) dapat digunakan untuk memperkirakan besarnya erosi dari DTAnya, yaitu dengan cara membagi nilai sedimen dengan nilai nisbah atau ratio penghantaran sedimen (Sedinent Delivery Ratio/SDR) seperti pada Tabel 7.

Nilai erosi dari hasil sedimen di SPAS dihitung dengan persamaan :
Ket :
A (mm/th atau ton/th)
Sy (mm/th atau ton/th)
SDR
= nilai erosi
= hasil sedimen di SPAS
= rasio penghantaran sedimen
Tabel 7. Hubungan antara luas DAS dan ratio penghantaran sedimen 
No
Luas DAS (ha)
Rasio penghantaran sedimen (%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8
9.
10.
10
50
100
500
1.000
5.000
10.000
20.000
50.000
2.600.000
53
39
35
27
24
15
13
11
0,85
0,49

Sumber: SK. No. 346/Menhut-V/2005 (Kriteria Penetapan Urutan Prioritas DAS)

3.      Tanah Longsor

Rangkuman dari beberapa pustaka (Febri Himawan, 1994; Justika Baharsyah dkk, 2000; Karnawati D, 2001 dalam Astuti) dan pengenalan di lapangan dapat diketahui bahwa beberapa faktor yang menyebabkan suatu kawasan longsor lahan antara lain (Tabel 8) :

Tabel  8. Faktor Penyebab terjadinya Longsor
Faktor Internal
a.    Genesis morfologi lereng (perubahan kemiringan dari landai ke curam)
-
b.    Geologi (jenis batuan, sifat batuan, stratigrafi dan tingkat pelapukan)
§  Jenis batuan/tanah
- Tanah tebal dengan tingkat pelapukan sudah lanjut
-Kembang kerut tanah tinggi : lempung
§  Sedimen berlapis (tanah permeable menumpang pada tanah impermeable)
§  Sedimen berlapis (tanah permeabel menumpang pada tanah impermeabel)
§  Perlapisan tanah/batuan searah dengan kemiringan lereng.
c. Tektonik dan Kegempaan

§  Sering mengalami gangguan gempa
§  Mekanisme tektonik penurunan lahan





Faktor Eksternal
a. Morfologi atau Bentuk Geometri Lereng

§  Erosi lateral dan erosi mundur (backward erosion) yang intensif menyebabkan terjadinya penggerusan di bagian kaki lereng, akibatnya lereng makin curam.
§  Makin curam suatu kemiringan lereng, makin kecil nilai kestabilannya.
§  Patahan yang mengarah keluar lereng
b. Hujan

§  Akibat hujan terjadi peningkatan kadar air tanah, akibatnya menurunkan ketahanan batuan.
§  Kadar air tanah yang tinggi juga menambah beban mekanik tanah.

Kerentanan tanah  (Ditjen RPLS, 2009) menggunakan formulasi kerentanan tanah longsor (KTL) seperti pada Tabel 9. Penilaian kerentanan tanah longsor di DAS didasarkan atas faktor alami dan manajemen.

a.       Indikator pada faktor alami, yaitu:
-       Hujan harian kumulatif 3 hari berurutan
-       Lereng lahan
-       Geologi (batuan)
-          Keberadaan sesar/patahan
-          Kedalaman regolith

b.      Indikator pada faktor manajemen, yaitu:
-       Penggunaan lahan
-       Infrastruktur (jalan dan pemukiman)
-       Kepadatan penduduk pada lahan pemukiman.
Tabel 9. Formulasi nilai Kerentanan Tanah Longsor (KTL)
No
Parameter/Bobot
Besaran
Kategori Nilai
Skor
A
ALAMI (60%)
1.       a
Hujan harian kumulatif 3 hari berurutan (mm/3 hari)
 (25%)
< 50
50-99
100-199
200-300
>300
Rendah
Agak Rendah
Sedang
Agak Tinggi
Tinggi
1
2
3
4
5
b
Lereng lahan (%)
(15%)
<15
15-24
25-44
45-65
>65
Rendah
Agak Rendah
Sedang
Agak Tinggi
Tinggi
1
2
3
4
5
c
Geologi (Batuan)
(10%)
Dataran Aluvial
Perbukitan Kapur
Perbukitan Granit
Perbukitan Bat. sedimen
Bkt Basal-Clay Shale
Rendah
Agak Rendah
Sedang
Agak Tinggi
Tinggi
1
2
3
4
5
d
Keberadaan sesar/ patahan/gawir
(5%)
Tidak ada
Ada
Rendah
Tinggi
1
5
e
Kedalaman tanah (regolit) sampai lapisan kedap (m)
(5%)
< 1
1-2
2-3
3-5
>5
Rendah
Agak Rendah
Sedang
Agak Tinggi
Tinggi
1
2
3
4
5
B
MANAJEMEN (40%)
2.       a
Penggunaan Lahan
(20%)

Hutan Alam
Semak/Blkar/Rumput Hut Tan/Perkebunan
Tegal/Pekarangan
Sawah/Pemukiman
Rendah
Agak Rendah
Sedang
Agak Tinggi
Tinggi
1
2
3
4
5
b
Infrastruktur (jika lereng <25% = skore 1)  (15%)
Tak ada jalan memotong lereng
Lereng terpotong jlan
Rendah
Tinggi
1
5
c
Kepadatan Pemukiman (org/km2) (jika lereng <25% = skore 1)
(5%)
<2000
2000-5000
5000-10000
10000-15000
>15000
Rendah
Agak Rendah
Sedang
Agak Tinggi
Tinggi
1
2
3
4
5
Sumber: Paimin dkk (2006) dalam Ditjen RLPS (2009)

Untuk penentuan nilai KTL, (Ditjen RPLS, 2002) masing-masing indikator pada faktor alami dan manajemen tersebut diberikan nilai dan bobot sesuai dengan perannya sebagai penyebab tanah longsor. Teknik perhitungannya adalah menilai masing-masing parameter pada indikator KTL dengan nilai tertimbang dari jumlah hasil kali nilai skor dan nilai bobot dibagi 100 dari setiap unit/satuan lahan yang ada di DAS. Klasifikasi nilai KTL disajikan pada Tabel 10. Dengan demikian dalam satu unit/satuan lahan kemungkinan mengalami kerawanan terhadap erosi permukaan dan atau tanah longsor bisa dievaluasi.

Tabel 10.  Klasifikasi nilai Kerawanan Tanah Longsor
No
Nilai Kerawanan Tanah Longsor
Kelas
Skor
1
2
3
< 2,5
2,5 – 3,5
> 3,5
Rendah
Sedang
Tinggi
1
3
5

Peristiwa erosi, sedimentasi dan tanah longsor sebagai indicator terbentuknya endapan alluvial. Endapan alluvial ini berupa endapan koluvial dan aluvial sungai tua berupa kerakal, kerikil, pasir dan lempung. Endapan koluvial umumnya menempati bagian tinggian tersebar dengan ketebalan yang relatif tipis (0,5-1m) sedangkan endapan aluvial sungai tua terendapkan sepanjang aliran sungai dan umumnya mepunyai ketebalan yang relative lebih tebal (1-3m). Endapan aluvial tua ini ditutupi oleh endapan aluvial sungai muda yang didominasi oleh pasir dan lempung. (Rudy, )

Endapan ini disusun oleh pasir sampai kerikil, lepas daya dukung terhadap pondasi sedang sampai besar. Permeabilitas besar, dapat bertindak sebagai akuifer, diatas endapan ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai daerah pemukiman, hal ini bisa dimaklumi karena kemudahan untuk memperoleh air.

II.          Sifat Tanah Endapan Sungai (Aluvial)

Aluvial termasuk entisol, tanah ini disebut juga sebagai tubuh tanah endapan atau resent deposit, yang belum memiliki perkembangan profil yang baik. Tanah berwarna kekelabuan, kecoklat-coklatan. Tekstur tanahnya adalah liat berpasir dengan kandungan pasir kurang dari 50 %. Strukturnya pejal atau tanpa struktur, sedangkan konsistensinya keras waktu kering dan teguh pada waktu lembab. (Saifuddin, 1985)

Kandungan unsur hara (Saifuddin, 1985) relative kaya, tergantung pada bahan induknya. Bahan induknya berasal dari bahan alluvial dan koluvial dari berbagai macam asalnya. Bahan organiknya umumnya juga rendah sampai pada yang rendah sekali, sedangkan reaksi tanahnya bervariasi dari asam, netral dan basa.

Permeabilitasnya umumnya lambat dan drainasenya rata-rata sedang, atau cukup peka terhadap gejala erosi. Proses pembentukan tanah adalah alterasi lunak atau tanpa pembentukan. (Saifuddin, 1985) Khusus di daerah datar yang rawa-rawa, tanah alluvial ini sering digemari air, sehingga warna air tanah kelabu tua atau kehitam-hitaman. Teksturnya adalah liat tanpa struktur. Sifatnya lekat dan sering juga disebut alluvial hidromorf. Tanah ini banyak berassosiasi dengan tanah-tanah organosol, glei humus rendah dan hidromorf kelabu, yang keseluruhannya merupakan tanah-tanah yang terdapat didaerah pasang surut.

Secara keseluruhan tanah alluvial ini mempunyai sifat-sifat fisika yang kurang baik sampai sedang, sifat-sifat kimianya sedang sampai baik. Oleh sebab itu produktivitas tanahnya rendah sampai tinggi. (Saifuddin, 1985) Daerah penyebarannya terdapat diberbagai keadaan iklim dengan ketinggian yang beraneka, tetapi umumnya didataran rendah dan bentuk wilayahnya datar sampai bergelombang.

III.             Upaya Pemulihan Kerusakan Lahan Endapan Sungai

Secara biologi

Karena tanah endapan sungai secara kimia bahan organiknya rendah, kaya unsur hara dan sifat basa, netral dan asam masih bervariasi sehingga perlu dilakukan upaya penanaman dengan system Agroforestri yang berpotensi dalam memperbaiki endapan sungai, pohon memberikan fungsi : 1) mengurangi daya pukul air hujan terhadap permukaan tanah, 2) Mempertahankan iklim mikro. Lapisan air tipis (waterfilm) yang tertinggal pada permukaan daun dan batang selanjutnya akan menguap (evaporasi). Hal ini penting untuk mempertahankan kelembaban udara 3) Seresah yang mampu mempertahankan kegemburan tanah, penyedia makanan bagi organism“ penggali tanah “, menyaring partikel tanah yang terangkut oleh limpasan permukaan sehingga air yang mengalir tetap jernih, 5) Akar pohon yang berkembang dalam tanah bermanfaat dalam mempertahankan jumlah pori makro tanah. (Van Noordwijk et.al, 2004 dalam Hairiah et.al., 2004).

Secara Fisik
Tanah endapan sungai liat berpasir dengan kandungan pasir kurang dari 50 %. Strukturnya pejal atau tanpa struktur, sedangkan konsistensinya keras waktu kering dan teguh pada waktu lembab. Pemulihan secara fisik ditambahkan pupuk organik dan tanah lempung, pemberian pupuk organik dimaksudkan untuk menambah bahan organik tanah endapan sungai yang dinyatakan masih rendah. Penambahan tanah lempung juga dimaksudkan untuk memperkuat berdirinya tanaman, sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik.

IV.             Peran Agroforestri dalam Reklamasi Lahan Endapan Sungai
Agroforestry sebagai sistem penggunaan lahan dapat diterapkan dalam reklamasi endapan sungai karena terbukti menguntungkan bagi pembentukan dan perkembangan profil tanah yang lebih baik. Peluang digunakannya sistem agroforestry dalam reklamasi endapan sungai disebabkan karena :
1.      Agroforestry adalah metode biologis untuk konservasi dan pemeliharaan penutup tanah sekaligus memberikan kesempatan menghubungkan konservasi tanah dengan konservasi air.
2.      Dengan agroforestry yang produktif dapat digunakan untuk memelihara dan meningkatkan produksi bersamaan dengan tindakan pencegahan erosi.
3.      System pohon dalam agroforestry mulai dari perakaran sebagai jangkar tanah dan tanaman, batang penopang berdirinya ranting dan daun, ranting dan daun yang gugur sebagai seresah yang menambah bahan organik tanah dan sebagai tempat kehidupan mikroorganisme tanah, membantu perkembangan profil tanah yang lebih baik.

Pustaka
Agung B. Supangat, Sukresno dan C. Nugraha S. priyono, 2002. Kajian karakteristik aliran pada Sub DAS kawasan hutan jati. Buletin Pengelolaan DAS Surakarta no. VIII, 2, 2002
Astuti Sri, Pengelolaan Sumber Daya Lahan Oleh Agroforestri.
Farida, Kevin Jeanes, Dian Kurniasari,Atiek Widayati,Andree Ekadinata, Danan Prasetyo Hadi, Laxman Joshi, Desi Suyamto dan Meine van Noordwijk, 2005. PENILAIAN CEPAT HIDROLOGIS: Pendekatan Terpadu dalam Menilai Fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS).RUPES Program World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Bogor. Indonesia

Gunradi Rudi, Rohmana et al, 2004. Pendataan dan Evaluasi Pemanfaatan Lahan Galian Bekas Tambang dan Wilayah Peti Daerah Sambas, Provinsi Kalbar. Subdit Konservasi. Kolokium Hasil Lapangan.

Hairiah K, Widianto et.al., 2004. Ketebalan Seresah sebagai Indikator Daerah Aliran Sungai (DAS) Sehat, Unibraw Malang, ICRAF-Bogor
Kastolani W, Degradasi Lahan Sub DAS Citarik Hulu di Kab. Bandung dan Sumedang.

Kementrian Lingkungan Hidup, 2002. Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia
Meine van Noordwijk, Fahmuddin Agus et.al., 2004.  Peranan Agroforestri dalam Agroforestri dalam Mempertahankan Fungsi Hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS). AGRIVITA VOL. 26 NO.1 Maret 2004 ISSN : 0126 - 0537

Poerwowidodo, 1991. Genesa Tanah : Batuan Pelbentuk Tanah. Rajawali Press. Jakarta
Pratomo Joko A, 2008. Analisis Kerentanan Banjir di Daerah Aliran Sungai Sengkarang Kabupaten Pekalongan Provinsi Jawa Tengah dengan Bantuan Sisitem Informasi Geografis. Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Raharjo Dwi P, Saifudin. 2008. Pemetaan Erosi DAS Lukulo Hulu dengan Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi. Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 8, No. 2 (2008) p: 103-113

Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. 2009. Monitoring di Daerah Aliran Sungai. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre - Southeast Asia Regional Office. 104 p.

RPLS Ditjen, 2009. Peraturan Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai Nomor: P.04/V-SET/2009  Tanggal : 05 Maret 2009

Saifuddin E, 1985. Ilmu Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung

Sebastian L, 2008. Pendekatan Pencegahan dan Penanggulangan Banjir. Dinamika Teknik Sipil,  Volume 8, Nomor 2, Juli 2008 : 162 – 169