I. Pendahuluan
Sungai/laut atau aliran air yang menyediakan
kemudahan hidup bagi masyarakat disekitarnya itu juga bisa menjadikan
masyarakat tadi menghadapi risiko bencana tahunan akibat banjir. Banjir dapat
terjadi akibat naiknya permukaan air lantaran curah hujan yang diatas normal,
perubahan suhu, tanggul/bendungan yang bobol, pencairan salju yang cepat,
terhambatnya aliran air di tempat lain. (Sebastian, 2008).
Ditjen (2009) menjelaskan banjir dalam pengertian
umum adalah debit aliran air sungai dalam jumlah yang tinggi, atau debit aliran
air di sungai secara relatif lebih besar dari kondisi normal akibat hujan yang
turun di hulu atau di suatu tempat tertentu terjadi secara terus menerus,
sehingga air tersebut tidak dapat ditampung oleh alur sungai yang ada, maka air
melimpah keluar dan menggenangi daerah sekitarnya.
Banjir kilat/dadakan biasanya didefinisikan sebagai
banjir yang terjadi hanya dalam waktu kurang dari 5 jam sesudah hujan lebat
mulai turun. Biasanya juga dihubungkan dengan banyaknya awan kumulus yang
menggumpal di angkasa, kilat atau petir yang keras, badai tropis atau cuaca
dingin (Seta, 1991 dalam Sebastian, 2008).
Umumnya banjir dadakan akibat meluapnya air hujan
yang sangat deras, khususnya bila tanah bantaran sungai rapuh dan tak mampu
menahan cukup banyak air. Penyebab lain adalah kegagalan bendungan/tanggul
menahan volume air (debit) yang meningkat, perubahan suhu menyebabkan berubahnya
elevasi air laut, dan atau berbagai perubahan besar lainnya di hulu sungai
termasuk perubahan fungsi lahan (Arsyad, 1989 dalam Sebastian, 2008). Saat ini
yang menjadi isu publik adalah pengubahan lahan, kepadatan pemukiman, penyebab
tertutupnya lahan, erosi dan sedimentasi yang terjadi diberbagai kawasan
perkotaan dan daerah.
Kerawanan terhadap banjir dadakan akan meningkat bila
wilayah itu merupakan lereng curam, sungai dangkal dan pertambahan volume air
jauh lebih besar daripada yang tertampung (Suripin, 2001 dalam Sebastian, 2008).
Luapan sungai berbeda dari banjir dadakan karena banjir ini terjadi setelah
proses yang cukup lama, meskipun proses itu bisa jadi lolos dari pengamatan
sehingga datangnya banjir terasa mendadak dan mengejutkan.
Selain itu banjir luapan sungai kebanyakan bersifat
musiman atau tahunan dan bisa berlangsung selama berhari-hari atau berminggu-minggu
tanpa berhenti. Penyebabnya adalah hutan gundul, kelongsoran daerah-daerah yang
biasanya mampu menahan kelebihan air, ataupun perubahan suhu/musim, atau
terkadang akibat kedua hal itu sekaligus.
Banjir terjadi sepanjang sistem sungai dan anak-anak
sungainya, mampu membanjiri wilayah luas dan mendorong peluapan air di dataran
rendah, sehingga banjir yang meluap dari sungai-sungai selain induk sungai
biasa disebut ‘banjir kiriman’. Besarnya banjir tergantung kepada beberapa
faktor, di antaranya kondisi-kondisi tanah (kelembaban tanah, vegetasi,
perubahan suhu/musim, keadaan permukaan tanah yang tertutup rapat oleh
bangunan; batu bata, blok-blok semen, beton, pemukiman/perumahan dan hilangnya kawasan-kawasan
tangkapan air / alih fungsi lahan (Asdak, 2004 dalam Sebastian, 2008).
Selain banjir dadakan atau luapan, ada banjir
bandang. Banjir bandang adalah banjir besar yang datang dengan tiba-tiba dan
mengalir deras menghanyutkan benda-benda besar seperti kayu dan sebagainya.
Dengan demikian banjir harus dilihat dari besarnya pasokan air banjir yang
berasal dari air hujan yang jatuh dan diproses oleh DTA-nya (catchment area),
serta kapasitas tampung palung sungai dalam mengalirkan pasokan air tersebut.
Perubahanpenutupan lahan di DAS dari hutan ke lahan terbuka atau pemukiman,
menyebabkan air hujan yang jatuh diatasnya secara nyata meningkatkan aliran
pemukaan (runoff) yang selanjutnya bisa memicu terjadinya banjir di hilir.
Penyebab bencana kekeringan dan banjir dapat
dibedakan atas tiga tingkatan: (i) langsung
proximate), (ii) tak langsung (intermediate) dan (iii) dasar (ultimate).
(Rahayu et.al., 2009) Penyebab yang paling dasar adalah tidak ada/kurang
baiknya langkah-langkah pencegahan dampak banjir di daerah hilir, yang mungkin
disebabkan karena pengelola daerah kurang mampu dalam memprediksi besar
kecilnya debit air atau karena ulah manusia yang memicu terjadinya bencana.
Penyebab langsung biasanya berupa periode curah hujan
yang lebih tinggi dari harapan (menyebabkan banjir) atau lebih rendah dari harapan (menyebabkan
kekeringan). Penyebab tak langsung adalah hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana
kondisi DAS menangkap curah hujan dan mengalirkannya ke sungai serta bagaimana
tipe tutupan/penggunaan lahan mengubah fungsi hidrologi DAS. (Rahayu et.al.,
2009).
Banjir dadakan atau banjir luapan dan banjir
merupakan peristiwa alam yang mengakibatkan kerusakan tanah seperti hilangnya
lapisan permukaan di daerah hulu, mengendap di daerah tengah berupa lumpur, pasir,
kerikil, bahkan jika masih mampu berjalan endapan terbawa sampai pada daerah
hilir dan bermuara yang lambat laun membentuk delta.
Tanah endapan sungai menjadi permasalahan yang perlu
dicermati, karena tanah ini termasuk tanah alluvial yang termasuk dalam
entisol, tanah muda yang baru mencapai tingkat permulaan perkembangan tanah.
Oleh karena itu perlu peran agroforestri untuk mereklamasi lahan endapan
sungai.
II.
Kawasan Rawan
Banjir
Menurut Isnugroho (2006) dalam Pratomo (2008), kawasan rawan banjir
merupakan kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana banjir sesuai
karakteristik penyebab banjir, kawasan
tersebut dapat dikategorikan menjadi empat tipologi sebagai berikut :
a. Daerah
Pantai.
Daerah pantai merupakan daerah
yang rawan banjir karena daerah tersebut merupakan dataran rendah yang elevasi
permukaan tanahnya lebih rendah atau sama dengan elevasi air laut pasang
rata-rata (mean sea level) dan tempat bermuaranya sungai yang biasanya
mempunyai permasalahan penyumbatan muara.
b. Daerah
Dataran Banjir (Floodplain Area).
Daerah dataran banjir (Floodplain
Area) adalah daerah di kanan-kiri sungai yang muka tanahnya sangat landai
dan relatif datar, sehingga aliran air menuju sungai sangat lambat yang
mengakibatkan daerah tersebut rawan terhadap banjir baik oleh luapan air sungai
maupun karena hujan local. Kawasan ini umumnya terbentuk dari endapan lumpur
yang sangat subur sehingga merupakan daerah pengembangan (pembudidayaan)
seperti perkotaan, pertanian, permukiman dan pusat kegiatan perekonomian,
perdagangan, industri, dll.
c. Daerah Sempadan Sungai.
Daerah ini merupakan kawasan
rawan banjir, akan tetapi, di daerah perkotaan yang padat penduduk, daerah
sempadan sungai sering dimanfaatkan oleh manusia sebagai tempat hunian dan kegiatan
usaha sehingga apabila terjadi banjir akan menimbulkan dampak bencana yang
membahayakan jiwa dan harta benda.
d. Daerah
Cekungan
Daerah cekungan merupakan daerah yang relatif cukup luas
baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Apabila penataan kawasan tidak
terkendali dan sistem drainase yang kurang memadai, dapat menjadi daerah rawan
banjir.
III. Tipe-tipe Sungai
a.
Sungai Lurus (Straight)
Sungai
lurus (Gambar 1) umumnya berada pada daerah bertopografi terjal mempunyai
energi aliran kuat atau deras. Energi yang kuat ini berdampak pada intensitas
erosi vertikal yang tinggi, jauh lebih besar dibandingkan erosi mendatarnya.
Kondisi seperti itu membuat sungai jenis ini mempunyai kemampuan pengendapan
sedimen kecil, sehingga alirannya lurusnya tidak berbelok-belok atau low
sinuosity. Karena kemampuan sedimentasi yang kecil inilah maka sungai tipe
ini jarang yang meninggalkan endapan tebal. Sungai tipe ini biasanya dijumpai
pada daerah pegunungan, yang mempunyai topografi tajam. Sedimen sungai lurus
ini sangat jarang dijumpai dan biasanya dijumpai pada jarak yang sangat pendek.
b.
Sungai Kekelok (meandering)
Sungai
kekelok adalah sungai yang alirannya berkelok-kelok atau berbelok-belok (Gambar
1) Pada sungai tipe ini erosi secara umum lemah sehingga pengendapan sedimen
kuat. Erosi horisontalnya lebih besar
dibandingkan erosi vertikal, perbedaan ini semakin besar pada waktu banjir. Hal
ini menyebabkan aliran sungai sering berpindah tempat secara mendatar. Ini
terjadi karena adanya pengikisan horisontal pada tepi sungai oleh aliran air
utama yang pada daerah kelokan sungai pinggir luar dan pengendapan pada kelokan
tepi dalam. Kalau proses ini berlangsung lama akan mengakibatkan aliran sungai
semakin bengkok. Pada kondisi tertentu bengkokan ini terputus, sehingga
terjadinya danau bekas aliran sungai yang berbentuk tapal kuda atau oxbow
lake.
Gambar 1.
Tipe-tipe sungai
Pada
tipe sungai kekelok proses pengendapan terakumulasi pada 5 (lima) bagian yang berbeda
(Boggs, 1995, Gambar 2), yaitu :
a.
Saluran utama (Main Channel dan channel
fills),
b. Gosong (point bar),
c. Tanggul alam (natural levee),
d. Dataran banjir (flood-plain),
e. Danau oxbow (oxbow lake).
Sedimen yang diendapkan pada saluran utama terdiri dari
material yang umumnya berbutiran lebih kasar yang dapat berpindah hanya oleh
aliran sungai dengan kecepatan maximum pada saat puncak banjir (peak flood).
Butiran suspensi seperti lempung dan lanau terbawa lebih cepat dan diendapkan
pada daerah floodplain. Endapan pada saluran utama terdiri dari
reruntuhan dinding sungai yang roboh akibat pengikisan oleh aliran arus (Walker
dan Cant, 1979 dalam Walker, 1992), yang lebih dikenal dengan lag deposits.
Karena saluran utama ini selalu bergerak (berpindah) dan pada dasar sungai
selalu diendapkan butiran yang lebih kasar maka endapan ini merupakan dasar dari suatu gosong.
Gambar 2. Morfologi tipe sungai kekelok (Einsele,1992)
Gosong (point bar) terakumulasi pada sisi dalam kelokan
sungai, umumnya terjadi ketika material di sisi luar bank tererosi. Pada
bagian gosong, endapan yang terbentuk umumnya menghalus ke atas, dengan
struktur silang siur dan “dunes” yang berkembang baik. Pada sungai
kekelok tua kadang-kadang gosong yang telah terbentuk terpotong kembali oleh
aliran akibat lekukan aliran yang sangat besar yang terjadi saat banjir. Hal
ini bisa terjasi pada gosong yang mempunyai kemiringan lereng rendah dan
mempunyai tingkat kelokan yang tinggi.
Tanggul alam (natural levee) adalah tanggul di kanan
kiri sungai yang membatasi aliran sungai. Tanggul alam ini terbentuk bersamaan
dengan terbentuknya aliran itu sendiri. Tanggul terbentuk selama banjir sedang
yang hanya mencapai ketinggian sama dengan tebing sungai (channel bank).
Dengan menurunnya kecepatan arus, terendapkanlah sedimen di sepanjang tebing
sungai tersebut. Pada saat banjir berikutnya endapan baru akan terus terbentuk
di atas tebing ini dan membentuk tanggul alam sehingga tanggul ini semakin lama
semakin tinggi. Tinggi maksimum yang dibentuk oleh tanggul alam mengindikasikan
permukaan air maksimum yang terjadi pada saat banjir. Pada umumnya endapan
berbutir halus. Arus sewaktu banjir, juga akan menyebabkan
terkikisnya endapan yang telah terbentuk pada gosong atau bahkan mengerosi
tanggul alam dan memutuskannya. Sehingga air akan melimpah ke dataran bajir di
kiri-kanan aliran sungai dan akan membentuk crevasse splays deposites. Crevasse
ini akan membentuk pola dan sistem saluran tersendiri. Struktur sedimen
yang berkembang antara lain grading, lapisan horisontal ripple cross
bedding.
Dataran banjir (floodbasin) merupakan bagian terendah dari floodplain.
Ukuran dan bentuk dari dataran banjir ini sangat tergantung dari sejarah
perkembangan banji, tetapi umumnya berbentuk memanjang (elongate). Endapan
dataran banjir (floodplain) biasanya terbentuk selama proses penggenangan
(inundations). Umumnya Endapan dataran banjir ini didominasi oleh endapan
suspensi seperti lanau dan lumpur, meskipun kadang-kadang muncul batupasir
halus yang terendapkan oleh arus yang lebih kuat pada saat puncak banjir.
Kecepatan pengendapannya pada umumnya sangat rendah, berkisar antara 1 dan 2 cm
lapisan lanau-lempung per periode banjir (Reineck dan Singh, 1980). Endapannya
mengisi daerah relatif datar pada sisi luar sungai dan kadang-kadang mengandung
sisa tumbuhan serta terbioturbasikan oleh organisme-organisme.
Akibat proses pengikisan mendatar pada belokan sungai dan
pengendapan yang terjadi di sisi lain mengakibatkan suatu saat dua buah kelokan
aliran meander saling bertemu. Akibat dari peristiwa ini menyebabkan terjadinya
aliran yang terputus yang menyerupai danau yang disebut oxbow lake (Gambar
3).
Gambar
3. Sketsa pembentukan oxbow lake
Penampang vertikal dari endapan sungai kekelok dicirikan
oleh runtunan batuan sedimen dalam setiap sekuen mempunyai besar butir menghalus
ke arah atas (Gambar 4). Dasar atau alas setiap sekuen merupakan bidang erosi
yang kemudian ditindih oleh lapisan yang berbutir kasar-sangat kasar. Pada
bagian bawahnya (di atas bidang erosi) sangat umum dijumpai lag deposits
tadi. Fragmen dari lag deposits ini umumnya terdiri atas batu lempung
atau batu serpih yang merupakan hasil runtuhan tebing sungai. Pada bagian bawah
sekuen ini sering terbentuk silang siur mangkok dan kemudian berubah jadi
planar ke arah atas. Bagian atasnya terdiri atas batuan berbutir halus (batu serpih,
batu lanau atau batu lempung) dengan sisipan tipis batu pasir. Struktur sedimen
yang dijumpai umumnya berukuran kecil seperti laminasi, silang siur dan ripple
mark. Bagian bawah dari sekuen yang berupa endapan berbutir kasar-sangat kasar
merupakan hasil endapkan pada alur sungai, sedangkan endapan halus umumnya
merupakan hasil endapan di daerah dataran banjir. Sisipan tipis batu pasir pada
bagian atas sekuen merupakan endapan limpahan banjir yang memotong tanggul
alam.
Gambar 4
Penampang vertikal ideal dari endapan sungai meandering (Walker dan Cant, 1979
dalam Boggs,1995)
a.
Sungai Teranyam (braided)
Sungai teranyam umumnya terdapat pada daerah datar dengan
energi arus alirannya lemah dan batuan di sekitarnya lunak. Sungai tipe ini
bercirikan debit air dan pengendapan sedimen tinggi. Daerah yang rata
menyebabkan aliran dengan mudah belok karena adanya benda yang merintangi
aliran sungai utama.
Tipe sungai teranyam dapat dibedakan dari sungai kekelok
dengan sedikitnya jumlah lengkungan sungai, dan banyaknya pulau-pulau kecil di
tengah sungai yang disebut gosong. Sungai teranyam akan terbentuk dalam kondisi
dimana sungai mempunyai fluktuasi dischard besar dan cepat, kecepatan
pasokan sedimen yang tinggi yang umumnya berbutir kasar, tebing mudah tererosi
dan tidak kohesif (Cant, 1982). Biasanya tipe sungai teranyam ini diapit oleh
bukit di kiri dan kanannya. Endapannya selain berasal dari material sungai juga
berasal dari hasil erosi pada bukit-bukit yang mengapitnya yang kemudian
terbawa masuk ke dalam sungai. Runtunan endapan sungai teranyam ini biasanya
dengan pemilahan dan kelulusan yang baik, sehingga bagus sekali untuk batuan
waduk (reservoir).
Umumnya tipe sungai teranyam didominasi oleh pulau-pulau
kecil (gosong) berbagai ukuran yang dibentuk oleh pasir dan krikil. Pola aliran
sungai teranyam terkonsentrasi pada zona aliran utama. Jika sedang banjir
sungai ini banyak material yang terbawa terhambat pada tengah sungai baik
berupa batang pepohonan ataupun ranting-ranting pepohonan.
Akibat sering terjadinya banjir maka di sepanjang bantaran
sungai terdapat lumpur yang mengusai hampir di sepanjang bantaran sungai. Struktur
sedimen yang umum terbentuk adalah silang siur, gelembur gelombang dan ripltion.
Pada saat air surut terjadi silang siur dengan perkembangan pada gelembur
gelombang dan perarian sejajar. Hal ini terjadi pula pada permukaan bar. Pola
pengendapan pada sungai teranyam pada skala kecil tidak terlihat pada beberapa
pembacaan well log, karena saluran dan bar dapat berubah-ubah,
pengendapan akan terlihat dengan secara acak dalam ukuran yang besar dan
distribusi lateral isi dari fragmen bar dan salluran tersebut.
Jika sungai sedang tidak dalam keadaan banjir maka yang
terendapkan adalah butiran halus dengan laminasi di bagian atas dari kerikil.
Sedangkan lempung banyak terbentuk pada bagian tanggul dari sungai. Diagram
dari sungai teranyam seperti terlihat dalam Tabel yang memperlihatkan jika semakin rendah energi
arus aliran, maka terbentuklah gelembur gelombang (ripple) halus pada batuan
pasir yang melaminasi di bagian atas.
Tabel 1.Lingkungan Pengendapan Sungai
Teranyam (Boggs halaman 310)
Bar longitudinal atau di Indonesia disebut gosong adalah pulau ditengah
sungai yang mempunyai sumbu panjang sejajar dengan arah aliran sungai. Endapan
yang berbutir kasar biasanya tersebar di sekitar sumbu dan bagian bawah dari
gosong. Besar butir endapan ini mengecil ke arah atas dan bawah dari gosong.
Struktur sedimen yang umumnya terdapat pada gosong adalah lapisan mendatar yang
tebal yang diendapkan dalam kondisi upper-flow regim.
Linguiod dan tranverse bars berada pada sudut garis
potong ke arah alur sungai, keistimewaan karakteristik pasir pada aliran
teranyam. Bentuk lobate atau rhombic Linguoid bars, dengan penurunan
ketinggian paras muka sungai. Untuk transverse bars muncul akibat adanya
riak air sungai yang besar sehingga dapat mengakibatkan banjir. Lateral bars,
terdapat pada beberapa panjang tepi sungai, karena proses pengendapan dan erosi
dan banjir pada setiap kali musim banjir yang ditimbulkan
Gambar 5. Struktur bar pada sungai teranyam (Boggs, 2001).
Endapan sungai teranyam pada umumnya terdiri atas batu pasir
kasar sampai kerikil. Lumpur terendapkan pada bagian dasar aliran sungai. Pada longitudinal
bar cenderung mengubah krikil menjadi pasir. Endapan dari sungai teranyam
bervariasi atas besarnya beban pengendapan yang terkirim, kedalaman dari air
sungai dan variasi pembelokan aliran sungai. Umumnya proses pengendapan
rangkaian facies vertikal juga tidak menunjukan perbedaan khusus (Gambar 6).
Scott-type, umumnya terdiri dari batuan kasar, kerikil-kerikil dan
sedikit adanya sisipan batuan pasir pada sepanjang penampang vertikal dari type
ini. Model ini menunjukan sedikitnya perkembangan dari pengendapan batuan
krikil.
Donjek-type, model ini teridi dari variasi lapisan pengendapan pada
sungai teranyam dengan campuran beban pasir dan kekrikil. Batuan berpasir
banyak mendominasi pada Linguoid dan transverse bars. Pada
penampang vertikal ini terlihat variasi dari ketebalan pembentukan lapisan.
Platte-type, pengendapan tidak begitu nampak, sekalipun terindikasi
adanya rangkaian pengendapan pada sebagian longitudinal bar dan superiposes
linguoid bars dan ada sedit tanda berupa coal.
Bijou Creek-type, karakteristik proses pengendapan oleh
pengendapan superimposes flood sejak akumulasi arus air pada setiap kali
terjadinya banjir.
Gambar
6. Penampang tegak batuan berpasir pada teranyam (Boggs, 1995)
Penampang tegak dari batuan berpasir untuk arus teranyam
berawal dari endapan yang menggosok permukaan lantai bawah (bed SS) menumpuk
pada cross-bedding (bed A). Batuan pasir terlihat menumpuk pada lapisan
di atas (bed B) dan adanya ketebalan besarnya planar tabular (bed C).
Endapan memenuhi secara baik pada bagian atas saluran (bed D) dengan adanya
isolasi (bed E) menumpuk pada lapisan tegak siltstone interbeded dengan
batuan lumpur (bed F) dan yang terakhir batuan berpasir (bed G)
Pada sungai teranyam cenderung membentuk variasi kedalaman
dari lebar sungai dan karena arah aliran dan energi sungai membentuk lag
deposit pada lantai dasar sungai, pasir teralirkan pada bedload system.
Kedalaman sungai teranyam berkisar 3 meter atau lebih dengan membentuk adanya crossbedding.
Pengendapan sungai dengan adanya Flood stage dapat gosong membentuk channels
beds, preserving flood stage sedimentary structure. Pada muka arus
penampang sungai terjadi ripple lapisan pasir dengan gradasi mendatar
pada lapisan atas sungai. Karena kaya akan mineral makanan maka pada sebagian
bantaran sungai dan bekas luapan-luapan banjir maka akan tumbuh-tumbuhan akibat
biji-bijian tumbuhan itu terbawa banjir oleh sungai dan mengendap pada bantaran
sungai (Gambar 7.).
Gambar
7. Block Diagram sungai teranyam dan terbentuknya beberapa lapisan pengendapan
b.
Sungai Anastomasing
Sungai anastomasing terjadi karena adanya dua aliran sungai
yang bercabang-cabang, dimana cabang yang satu dengan cabang yang lain bertemu
kembali pada titik dan kemudian bersatu kembali pada titik yang lain membentuk
satu aliran. Energi alir sungai tipe ini rendah. Ada perbedaan yang jelas
antara sungai teranyam dan sungai anastomosing. Pada sungai teranyam, aliran
sungai menyebar dan kemudian bersatu kembali menyatu masih dalam lembah sungai
tersebut yang lebar. Sedangkan untuk sungai anastomasing adalah beberapa sungai
yang terbagi menjadi beberapa cabang sungai kecil dan bertemu kembali pada
induk sungai pada jarak tertentu (Gambar 1.). Pada daerah onggokan sungai
sering diendapkan material halus dan biasanya ditutupi oleh vegetasi.
I.
Indikator Terbentuknya
Endapan Sungai
1.
Erosi
Erosi tanah (Ditjen RLPS,
2009) adalah pengelupasan permukaan tanah oleh energi air, angin, es atau agen
geologis lainnya seperti gravitasi. Indonesia sebagai daerah tropis basah
umumnya erosi tanah disebabkan oleh energi air (hujan). Energi air hujan
mengikis tanah dalam bentuk : tetes air hujan (rain drop), baik secara langsung
maupun dalam bentuk air lolos tajuk dan aliran batang pohon (through fall dan
stemflow), serta limpasan air permukaan. Interaksi antara tanah dan air hujan
tersebut dapat menimbulkan berbagai bentuk erosi yaitu:
1.
Hujan dan limpasan
permukaan, menghasilkan erosi percik
(splash erosion), erosi lapis (sheet/interill erosion) dan erosi alur (rill
erosion)
2.
Limpasan permukaan
terkonsentrasi, menimbulkan morfoerosi
seperti erosi jurang (gully erosion), erosi tebing sungai (stream bank eosion),
dan erosi tepi jalan.
3.
Air bawah tanah, menyebabkan erosi lubang saluran (tunnel erosion) dan
gerak masa tanah (mass movement) atau tanah longsor (land slide).
Dampak erosi (Rahayu et.al., 2009) dapat dirasakan secara langsung maupun
secara tidak langsung, baik di tempat terjadinya erosi ataupun di tempat lain
dapat diuraikan pada tabel 2 sebagai berikut:
Tabel 2. Dampak Erosi secara Langsung maupun Tak Langsung
Dampak
Erosi
Tanah
Bentuk
Dampak
|
Dampak
ditempat Kejadian Erosi
|
Dampak
di luar tempat kejadian
|
Langsung
|
1. Kehilangan lapisan tanah yang
baik bagi yang berjangkarnya akar tanaman
2. Kehilangan unsur hara dan
kerusakan struktur tanah
3. Peningkatan penggunaan energi/
input untuk proses peroduksi pertanian
4. Kemerososan produktivitas
tanah
5. Pemiskinan petani
|
1.Pelumpuran dan pendangkalan
sungai, waduk, dan saluran irigrasi serta badan lainnya
2. Tertimbunnya lahan pertanian
jalan dan bangunan lain
3. Menghilangkan mata air dan
kualitas air menurun
4. Kerusakan ekosistem perairan
|
Tidak
langsung
|
1. Berkurangnya alternatif
penggunaan tanah
2. Timbulnya tekanan untuk
membuka laban baru
3. Timbulnya keperluan akan
perbaikan lahan dan bangunan yang rusak
|
1. Kerugian oleh memendeknya umur
waduk
2. Meningkatnya frekuensi dan
besarnya banjir
|
Kerusakan tanah (Suprayogo, 2002) terutama
karena erosi, tidak hanya dirasakan oleh daerah dimana erosi terjadi (daerah
hulu), tetapi juga didaerah yang dilalui (daerah tengah) dan didaerah hilir.
Didaerah hulu, dimana terjadi pengikisan dan
pengangkutan lapisan tanah atas, akan terjadi penurunan, kerusakan
produktivitas tanah. Ada tiga hal sebagai dampak terjadinya penurunan
produktivitas tanah karena erosi, yaitu (1) penurunan kandungan bahan organik
(2) penurunan kandungan hara tanaman dan
(3) kekurangan air. Dalam proses erosi, tanah yang terkikis dan yang terangkut
adalah lapisan tanah atas yang merupakan sumber kehidupan tanaman karena hanya
pada lapisan ini tanaman dapat memperoleh hara yang cukup. Pada tabel 3
disajikan perkiraan hubungan antara kehilangan tanah, bahan organik dan hara
pada Regosol (B.O lapisan atas=3%, N= 0,15 %, P= 0,10%, K= 0,20% dan B.I>=
1,2 g/cm3).
Tabel 3.
Perkiraan kehilangan hara tanah karena erosi air hujan (Carson dan Utomo 1986
dalam Suprayogo, 2002)
Kehilangan
|
Macam pengelolaan
|
||
Teras bangku
(jagung)
|
Teras gulud
(cassava + jagung)
|
Tanpa teras
(Kentang)
|
|
Tanah (mm/th)
Bahan organik (kg/ha/tahun)
N (kg/ha/tahun)
P (kg/ha/tahun)
K (kg/ha/tahun)
|
0,4
150
7,5
5,0
10
|
1,6
600
30
20
40
|
8,0
3000
150
100
200
|
Dengan terangkutnya bahan organik dan partikel
tanah oleh erosi maka akan terjadi perubahan sifat tanah. Data di Tabel 2
menunjukkan bahwa erosi tidak hanya berpengaruh terhadap kandungan bahan
organik tanah atas, tetapi juga kandungan N, P, K dan unsure lainnya.
Keadaan lahan yang terbuka (Suprayogo, 2002)
yang diikuti dengan pengankutan bahan organik dan pemadatan tanah menyebabkan
kapasitas infiltrasi tanah menurun. Akibatnya air mengalir dipermukaan tanah
sebagai limpasan permukaan, dan air
yang disimpan dalam tanah sedikit. Hal ini mengakibatkan kemampuan tanah
menyediakan air berkurang. Tabel 4 menunjukkan bahwa produksi tanaman makin
rendah dengan makin tipisnya lapisan tanah atas.
Tabel 4. Pengaruh
Kedalaman tanah atas terhadap produksi Jagung dan Oats di tanah Cecil, Georgia
(Elswaify et.al, 1980 dalam Suprayogo, 2002)
Kedalaman
|
Jagung
|
Oats
|
Kg/ha
|
||
5,0
12,5
20,0
|
601
795
1029
|
1584
1958
2227
|
Tanah yang terkikis tersebut dibawah air
limpasan permukaan dan jika daya angkut air ini turun sehingga tidak mampu lagi
mengangkut tanah yang dibawa, tanah-tanah tersebut akan mengendap yang umumnya
terjadi di sungai, waduk/danau atau bendungan-bendungan. Hal ini tentu saja
akan mengurangi efektifvitas daya guna sungai, waduk dan bendungan sehubungan
dengan fungsinya sebagai sumber kebutuhan manusia akan air. Sebagai akibat
lebih lanjut dengan adanya pendangkalan ini, dasar sungai atau waduk menjadi
dangkal sehingga terjadilah banjir.
Di daerah hilir, akibat erosi yang telah sangat
lama diketahui banjir dengan segala akibatnya., bahkan masalah penyediaan air
minum. Karena air yang masuk kedalam tanah didaerah hulu berkurang sebagai
akibat terbukanya tanah dan penurunan infiltrasi dan perkolasi, maka air tanah
yang sampai ke hilir berkurang. Sebagai akibatnya jika air tanah diambil
terjadilah intrusi air laut. Sedimentasi yang tinggi juga merusak terumbu
karang dan habitat rumput laut.
2.
Sedimentasi
Sungai menghasilkan
sedimen terangkut yang berbeda sangat nyata (keruh dan jernih) diantara
keduanya. Bagian anak sungai yang airnya jernih hulunya berasal dari daerah
vulkanik dengan tekstur tanah berpasir, sedang bagian anak sungai yang airnya
keruh hulunya berasal dari perbukitan yang terbentuk dari batuan sedimen dengan
tekstur tanah berlempung. (Ditjen, 2009)
Sedimentasi adalah jumlah material tanah berupa kadar lumpur dalam
air oleh aliran air sungai yang berasal dari hasil proses erosi di hulu, yang
diendapkan pada suatu tempat di hilir dimana kecepatan pengendapan butir-butir
material suspensi telah lebih kecil dari kecepatan angkutannya. Dari proses
sedimentasi, hanya sebagian material aliran sedimen di sungai yang diangkut
keluar dari DAS, sedang yang lain mengendap di lokasi tertentu di sungai selama
menempuh perjalanannya.
Indikator
terjadinya sedimentasi dapat dilihat dari besarnya kadar lumpur dalam air yang terangkut oleh aliran air sungai, atau banyaknya endapan
sedimen pada badan-badan air dan atau waduk. Makin besar kadar sedimen yang
terbawa oleh aliran berarti makin tidak sehat kondisi DAS. Besarnya kadar muatan sedimen dalam aliran
air dinyatakan dalam besaran laju sedimentasi (dalam satuan ton atau m3 atau
mm per tahun). Laju sedimentasi harian pada SPAS dapat dihitung dengan rumus:
Qs = 0.0864 x C x Q
Ket:
|
Qs (ton/hari)
C (mg/l)
Q (m3/dt)
|
= debit sedimen
= kadar muatan sedimen
= debit air sungai
|
Kadar muatan sedimen
dalam aliran air diukur dari pengambilan contoh air pada berbagai tinggi muka
air (TMA) banjir saat musim penghujan. Qs dalam ton/hari dapat dijadikan dalam
ton/ha/th dengan membagi nilai Qs dengan luas DAS. Selanjutnya nilai Qs dalam ton/ha/th
dikonversikan menjadi Qs dalam mm/tahun dengan mengalikannya dengan berat jenis
(BJ) tanah menghasilkan nilai tebal endapan sedimen. Berat jenis tanah
sebaiknya diukur berdasarkan analisis sifat fisik tanah di daerah yang
bersangkutan. Sebagai gambaran Berat Jenis tanah pada berbagai macam tekstur tanah
dapat dilihat pada Tabel 5. Sedang klasifikasi tingkat sedimentasi disajikan
pada Tabel 6.
Tabel 5. Berat
Jenis tanah rata-rata dan kisarannya pada berbagai tekstur tanah
No.
|
Tekstur Tanah
|
Berat Jenis (g/cm3)
|
1
2
3
4
5
6
|
Pasir (sandy)
Lempung berpasir (sandy
loam)
Lempung (loam)
Lempung berliat (clay
loam)
Liat berdebu (silty
clay)
Liat (clay)
|
1,65 (1,55 – 1,80)
1,50 (1,40 – 1,60)
1,40 (1,35 – 1,50)
1,35 (1,30 – 1,40)
1,30 (1,25 – 1,35)
1,25 (1,20 – 1,30)
|
Sumber :
Beasley & Huggins (1991) dalam Ditjen 2009
Tabel 6. Klasifikasi tingkat sedimentasi
No
|
Sedimentasi (mm/th)
|
Kelas
|
Skor
|
1
2
3
|
< 2
2 – 5
> 5
|
Baik
Sedang
Jelek
|
1
3
5
|
Pengukuran
hasil sedimen (Sy) dapat digunakan untuk memperkirakan besarnya erosi dari
DTAnya, yaitu dengan cara membagi nilai sedimen dengan nilai nisbah atau ratio
penghantaran sedimen (Sedinent Delivery Ratio/SDR) seperti pada Tabel 7.
Nilai erosi dari hasil sedimen di SPAS dihitung dengan
persamaan :
Ket :
|
A (mm/th atau ton/th)
Sy (mm/th atau ton/th)
SDR
|
= nilai erosi
= hasil sedimen di SPAS
= rasio penghantaran sedimen
|
Tabel 7. Hubungan antara luas DAS dan ratio
penghantaran sedimen
No
|
Luas DAS
(ha)
|
Rasio
penghantaran sedimen (%)
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8
9.
10.
|
10
50
100
500
1.000
5.000
10.000
20.000
50.000
2.600.000
|
53
39
35
27
24
15
13
11
0,85
0,49
|
Sumber: SK. No. 346/Menhut-V/2005 (Kriteria Penetapan Urutan Prioritas DAS)
3.
Tanah Longsor
Rangkuman dari beberapa pustaka
(Febri Himawan, 1994; Justika Baharsyah dkk, 2000; Karnawati D, 2001 dalam
Astuti) dan pengenalan di lapangan dapat diketahui bahwa beberapa faktor yang
menyebabkan suatu kawasan longsor lahan antara lain (Tabel 8) :
Tabel 8. Faktor Penyebab terjadinya Longsor
Faktor
Internal
|
a.
Genesis morfologi lereng (perubahan kemiringan dari landai ke curam)
|
-
|
b.
Geologi (jenis batuan, sifat batuan, stratigrafi dan tingkat pelapukan)
|
§ Jenis batuan/tanah
- Tanah tebal dengan tingkat
pelapukan sudah lanjut
-Kembang kerut tanah tinggi :
lempung
§ Sedimen berlapis (tanah permeable
menumpang pada tanah impermeable)
§ Sedimen berlapis (tanah permeabel
menumpang pada tanah impermeabel)
§ Perlapisan tanah/batuan searah dengan
kemiringan lereng.
|
|
c.
Tektonik dan Kegempaan
|
§ Sering mengalami gangguan gempa
§ Mekanisme tektonik penurunan lahan
|
|
Faktor
Eksternal
|
a.
Morfologi atau Bentuk Geometri Lereng
|
§ Erosi lateral dan erosi mundur
(backward erosion) yang intensif menyebabkan terjadinya penggerusan di bagian
kaki lereng, akibatnya lereng makin curam.
§ Makin curam suatu kemiringan
lereng, makin kecil nilai kestabilannya.
§ Patahan yang mengarah keluar lereng
|
b.
Hujan
|
§ Akibat hujan terjadi peningkatan
kadar air tanah, akibatnya menurunkan ketahanan batuan.
§ Kadar air tanah yang tinggi juga
menambah beban mekanik tanah.
|
Kerentanan tanah (Ditjen RPLS, 2009) menggunakan formulasi
kerentanan tanah longsor (KTL) seperti pada Tabel 9. Penilaian kerentanan tanah
longsor di DAS didasarkan atas faktor alami dan manajemen.
a.
Indikator pada faktor
alami, yaitu:
- Hujan harian kumulatif 3 hari berurutan
- Lereng lahan
- Geologi (batuan)
|
-
Keberadaan
sesar/patahan
-
Kedalaman regolith
|
b.
Indikator pada faktor
manajemen, yaitu:
-
Penggunaan lahan
-
Infrastruktur (jalan dan pemukiman)
-
Kepadatan penduduk pada lahan pemukiman.
Tabel 9. Formulasi nilai Kerentanan Tanah
Longsor (KTL)
No
|
Parameter/Bobot
|
Besaran
|
Kategori
Nilai
|
Skor
|
A
|
ALAMI (60%)
|
|||
1.
a
|
Hujan
harian kumulatif 3 hari berurutan (mm/3 hari)
(25%)
|
< 50
50-99
100-199
200-300
>300
|
Rendah
Agak Rendah
Sedang
Agak Tinggi
Tinggi
|
1
2
3
4
5
|
b
|
Lereng
lahan (%)
(15%)
|
<15
15-24
25-44
45-65
>65
|
Rendah
Agak Rendah
Sedang
Agak Tinggi
Tinggi
|
1
2
3
4
5
|
c
|
Geologi
(Batuan)
(10%)
|
Dataran
Aluvial
Perbukitan
Kapur
Perbukitan
Granit
Perbukitan
Bat. sedimen
Bkt
Basal-Clay Shale
|
Rendah
Agak Rendah
Sedang
Agak Tinggi
Tinggi
|
1
2
3
4
5
|
d
|
Keberadaan
sesar/ patahan/gawir
(5%)
|
Tidak ada
Ada
|
Rendah
Tinggi
|
1
5
|
e
|
Kedalaman
tanah (regolit) sampai lapisan kedap (m)
(5%)
|
< 1
1-2
2-3
3-5
>5
|
Rendah
Agak Rendah
Sedang
Agak Tinggi
Tinggi
|
1
2
3
4
5
|
B
|
MANAJEMEN
(40%)
|
|||
2.
a
|
Penggunaan
Lahan
(20%)
|
Hutan Alam
Semak/Blkar/Rumput
Hut Tan/Perkebunan
Tegal/Pekarangan
Sawah/Pemukiman
|
Rendah
Agak Rendah
Sedang
Agak Tinggi
Tinggi
|
1
2
3
4
5
|
b
|
Infrastruktur
(jika lereng <25% = skore 1) (15%)
|
Tak ada jalan memotong lereng
Lereng terpotong jlan
|
Rendah
Tinggi
|
1
5
|
c
|
Kepadatan
Pemukiman (org/km2) (jika lereng <25% = skore 1)
(5%)
|
<2000
2000-5000
5000-10000
10000-15000
>15000
|
Rendah
Agak Rendah
Sedang
Agak Tinggi
Tinggi
|
1
2
3
4
5
|
Sumber:
Paimin dkk (2006) dalam Ditjen RLPS (2009)
Untuk
penentuan nilai KTL, (Ditjen RPLS, 2002) masing-masing indikator pada faktor
alami dan manajemen tersebut diberikan nilai dan bobot sesuai dengan perannya
sebagai penyebab tanah longsor. Teknik perhitungannya adalah menilai
masing-masing parameter pada indikator KTL dengan nilai tertimbang dari jumlah
hasil kali nilai skor dan nilai bobot dibagi 100 dari setiap unit/satuan lahan
yang ada di DAS. Klasifikasi nilai KTL disajikan pada Tabel 10. Dengan demikian
dalam satu unit/satuan lahan kemungkinan mengalami kerawanan terhadap erosi
permukaan dan atau tanah longsor bisa dievaluasi.
Tabel 10.
Klasifikasi
nilai Kerawanan Tanah Longsor
No
|
Nilai Kerawanan Tanah Longsor
|
Kelas
|
Skor
|
1
2
3
|
< 2,5
2,5 – 3,5
> 3,5
|
Rendah
Sedang
Tinggi
|
1
3
5
|
Peristiwa erosi, sedimentasi dan tanah longsor sebagai indicator
terbentuknya endapan alluvial. Endapan alluvial ini berupa endapan koluvial dan
aluvial sungai tua berupa kerakal, kerikil, pasir dan lempung. Endapan koluvial
umumnya menempati bagian tinggian tersebar dengan ketebalan yang relatif tipis
(0,5-1m) sedangkan endapan aluvial sungai tua terendapkan sepanjang aliran
sungai dan umumnya mepunyai ketebalan yang relative lebih tebal (1-3m). Endapan
aluvial tua ini ditutupi oleh endapan aluvial sungai muda yang didominasi oleh
pasir dan lempung. (Rudy, )
Endapan ini
disusun oleh pasir sampai kerikil, lepas daya dukung terhadap pondasi sedang
sampai besar. Permeabilitas besar, dapat bertindak sebagai akuifer, diatas
endapan ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai daerah pemukiman, hal
ini bisa dimaklumi karena kemudahan untuk memperoleh air.
II.
Sifat Tanah Endapan Sungai (Aluvial)
Aluvial termasuk
entisol, tanah ini disebut juga sebagai tubuh tanah endapan atau resent
deposit, yang belum memiliki perkembangan profil yang baik. Tanah berwarna
kekelabuan, kecoklat-coklatan. Tekstur tanahnya adalah liat berpasir dengan
kandungan pasir kurang dari 50 %. Strukturnya pejal atau tanpa struktur,
sedangkan konsistensinya keras waktu kering dan teguh pada waktu lembab.
(Saifuddin, 1985)
Kandungan unsur
hara (Saifuddin, 1985) relative kaya, tergantung pada bahan induknya. Bahan
induknya berasal dari bahan alluvial dan koluvial dari berbagai macam asalnya.
Bahan organiknya umumnya juga rendah sampai pada yang rendah sekali, sedangkan
reaksi tanahnya bervariasi dari asam, netral dan basa.
Permeabilitasnya
umumnya lambat dan drainasenya rata-rata sedang, atau cukup peka terhadap
gejala erosi. Proses pembentukan tanah adalah alterasi lunak atau tanpa
pembentukan. (Saifuddin, 1985) Khusus di daerah datar yang rawa-rawa, tanah
alluvial ini sering digemari air, sehingga warna air tanah kelabu tua atau
kehitam-hitaman. Teksturnya adalah liat tanpa struktur. Sifatnya lekat dan
sering juga disebut alluvial hidromorf. Tanah ini banyak berassosiasi dengan
tanah-tanah organosol, glei humus rendah dan hidromorf kelabu, yang
keseluruhannya merupakan tanah-tanah yang terdapat didaerah pasang surut.
Secara keseluruhan
tanah alluvial ini mempunyai sifat-sifat fisika yang kurang baik sampai sedang,
sifat-sifat kimianya sedang sampai baik. Oleh sebab itu produktivitas tanahnya
rendah sampai tinggi. (Saifuddin, 1985) Daerah penyebarannya terdapat
diberbagai keadaan iklim dengan ketinggian yang beraneka, tetapi umumnya didataran
rendah dan bentuk wilayahnya datar sampai bergelombang.
III.
Upaya Pemulihan Kerusakan Lahan Endapan
Sungai
Secara biologi
Karena tanah endapan sungai secara kimia bahan organiknya rendah, kaya unsur
hara dan sifat basa, netral dan asam masih bervariasi sehingga perlu dilakukan
upaya penanaman dengan system Agroforestri yang berpotensi dalam memperbaiki
endapan sungai, pohon memberikan fungsi : 1) mengurangi daya pukul air hujan
terhadap permukaan tanah, 2) Mempertahankan iklim mikro. Lapisan air tipis (waterfilm)
yang tertinggal pada permukaan daun dan batang selanjutnya akan menguap
(evaporasi). Hal ini penting untuk mempertahankan kelembaban udara 3) Seresah
yang mampu mempertahankan kegemburan tanah, penyedia makanan bagi organism“
penggali tanah “, menyaring partikel tanah yang terangkut oleh limpasan
permukaan sehingga air yang mengalir tetap jernih, 5) Akar pohon yang
berkembang dalam tanah bermanfaat dalam mempertahankan jumlah pori makro tanah.
(Van Noordwijk et.al, 2004 dalam Hairiah et.al., 2004).
Secara Fisik
Tanah endapan sungai liat
berpasir dengan kandungan pasir kurang dari 50 %. Strukturnya pejal atau tanpa
struktur, sedangkan konsistensinya keras waktu kering dan teguh pada waktu
lembab. Pemulihan secara fisik ditambahkan pupuk organik dan tanah
lempung, pemberian pupuk organik dimaksudkan untuk menambah bahan organik tanah
endapan sungai yang dinyatakan masih rendah. Penambahan tanah lempung juga
dimaksudkan untuk memperkuat berdirinya tanaman, sehingga tanaman dapat tumbuh
dengan baik.
IV.
Peran
Agroforestri dalam Reklamasi Lahan Endapan Sungai
Agroforestry sebagai sistem penggunaan lahan dapat
diterapkan dalam reklamasi endapan sungai karena terbukti menguntungkan bagi pembentukan
dan perkembangan profil tanah yang lebih baik. Peluang digunakannya sistem
agroforestry dalam reklamasi endapan sungai disebabkan karena :
1.
Agroforestry adalah metode biologis untuk
konservasi dan pemeliharaan penutup tanah sekaligus memberikan kesempatan
menghubungkan konservasi tanah dengan konservasi air.
2.
Dengan agroforestry yang produktif dapat
digunakan untuk memelihara dan meningkatkan produksi bersamaan dengan tindakan
pencegahan erosi.
3.
System pohon dalam agroforestry mulai dari
perakaran sebagai jangkar tanah dan tanaman, batang penopang berdirinya ranting
dan daun, ranting dan daun yang gugur sebagai seresah yang menambah bahan
organik tanah dan sebagai tempat kehidupan mikroorganisme tanah, membantu
perkembangan profil tanah yang lebih baik.
Pustaka
Agung B. Supangat, Sukresno dan C. Nugraha
S. priyono, 2002. Kajian karakteristik
aliran pada Sub DAS kawasan hutan jati. Buletin Pengelolaan DAS Surakarta
no. VIII, 2, 2002
Astuti Sri, Pengelolaan Sumber Daya Lahan Oleh Agroforestri.
Farida, Kevin Jeanes, Dian Kurniasari,Atiek
Widayati,Andree Ekadinata, Danan Prasetyo Hadi, Laxman Joshi, Desi Suyamto dan
Meine van Noordwijk, 2005. PENILAIAN CEPAT HIDROLOGIS: Pendekatan Terpadu
dalam Menilai Fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS).RUPES Program World
Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Bogor. Indonesia
Gunradi Rudi, Rohmana et al, 2004. Pendataan
dan Evaluasi Pemanfaatan Lahan Galian Bekas Tambang dan Wilayah Peti Daerah
Sambas, Provinsi Kalbar. Subdit Konservasi. Kolokium Hasil Lapangan.
Hairiah K, Widianto et.al., 2004. Ketebalan Seresah sebagai Indikator Daerah
Aliran Sungai (DAS) Sehat, Unibraw Malang, ICRAF-Bogor
Kastolani W, Degradasi Lahan Sub DAS
Citarik Hulu di Kab. Bandung dan Sumedang.
Kementrian Lingkungan Hidup, 2002. Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia
Meine van Noordwijk, Fahmuddin Agus et.al.,
2004. Peranan Agroforestri dalam
Agroforestri dalam Mempertahankan Fungsi Hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS). AGRIVITA
VOL. 26 NO.1 Maret 2004 ISSN : 0126 - 0537
Poerwowidodo, 1991. Genesa Tanah : Batuan Pelbentuk Tanah. Rajawali Press. Jakarta
Pratomo
Joko A, 2008. Analisis
Kerentanan Banjir di Daerah Aliran Sungai Sengkarang Kabupaten Pekalongan
Provinsi Jawa Tengah dengan Bantuan Sisitem Informasi Geografis. Fakultas
Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Raharjo Dwi
P, Saifudin. 2008. Pemetaan Erosi DAS Lukulo Hulu dengan Menggunakan Data
Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi. Balai Informasi dan
Konservasi Kebumian Karangsambung, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jurnal
Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 8, No. 2 (2008) p: 103-113
Rahayu S,
Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. 2009. Monitoring di Daerah Aliran Sungai. Bogor, Indonesia. World
Agroforestry Centre - Southeast Asia Regional Office. 104 p.
RPLS
Ditjen, 2009. Peraturan Ditjen Rehabilitasi Lahan
dan Perhutanan Sosial tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran
Sungai Nomor: P.04/V-SET/2009 Tanggal :
05 Maret 2009
Saifuddin
E, 1985. Ilmu Tanah Pertanian.
Pustaka Buana. Bandung
Sebastian L, 2008. Pendekatan Pencegahan
dan Penanggulangan Banjir. Dinamika Teknik Sipil, Volume 8, Nomor 2, Juli 2008 : 162 – 169